J a r a k
Selamat ulang tahun, Papa
"Papa pergi kerja ya, Nak."
Kita yang Sedang Mencoba Mengerti Dunia
Jawaban yang Belum Sempat Kamu Dengar (1)
"Kenapa sih, Win, kepengen banget tinggal di luar negeri? Apa sih yang dikejar disana?"
Saat itu, aku sempat diam, sebelum akhirnya memberi jawaban "Ya, pengen aja.." kepadamu. Aku ingin memberi jawaban yang panjang, yang bisa meyakinkan dirimu bahwa alasanku sebenarnya sederhana, bukan alasan seperti "Ya karena luar negeri itu keren", bukan. Hanya saja, waktu itu kamu terdengar seperti merendahkan mimpiku, memandang bahwa mimpiku itu bukanlah suatu hal yang perlu diperjuangkan.
Dan ini jawaban yang sebenarnya ingin kusampaikan;
"Aku ingin tinggal di tempat yang tenteram, sepi, bersih, dan tidak berisik. Di tempat yang aku bisa berjalan kaki dan bersepeda tanpa takut diserempet kendaraan umum. Di tempat dimana aku bisa menghirup udara pagi yang segar, tidak perlu menggunakan masker saat pergi keluar rumah untuk menghindari polusi udara. Di tempat dimana aku bisa berkebun, menanam sayur, lalu memanennya untuk dimasak. Aku ingin tinggal di rumah dengan jendela besar yang mendapat cahaya matahari pagi ataupun sore. Aku ingin tinggal di desa kecil, dengan penduduk ramah dan saling kenal satu sama lain. Meski hanya sebentar, aku ingin merasakan kehidupan yang seperti itu."
Lalu mungkin kamu masih ingin bertanya, kenapa? Kenapa aku butuh hal seperti itu?
Maybe, it's because I'm a very unhappy person.
Kau, Bisa.
random thought: Keputusan
Nanti-
Mungkin, kehilangan banyak semangat hidup bisa membuat cemas hilang juga. Sudah habis diriku diambil kesedihan, sehingga cemas tak punya tempat lagi.
random thought: Packing
Beberapa hari terakhir, aku sibuk bongkar-muat koper sama barang-barang di Padang. Ini packing terakhir sebelum aku ninggalin Padang. Kemarin udah beberapa kali balik ke Medan sekalian nyicil barang bawaan. Karena ijazah udah keluar, jadi ya ini trip terakhir. Sigh. Syedih.
Kenapa bongkar-muat? Karena gak semua barang bisa masuk koper. Aku harus menaruh prioritas pada setiap barang yang mau dimasukin ke koper. Keputusan suuuuliiiiit. Soalnya pas saat-saat kayak gini, semua barang tiba-tiba jadi penting, semua barang tiba-tiba punya nilai kenangan yang gak rela dilepas.
Kalau dibandingin, packing saat pergi menuju perantauan dan balik dari perantauan, ribetnya sama. Walau mungkin emosi yang dirasain jauh beda. Dulu waktu mau merantau ke Padang, aku sampe bawa odol, sabun, shampo di koper. Snack-snack juga entah kenapa aku paksain masuk koper. Padahal ya, barang-barang kayak gitu juga ada di Padang. Sama juga saat aku mau ke Amerika, ini lebih ribet lagi. Segala saos dan sambal belacan kubawa. Plus indomie berbagai rasa. Takut banget kelaparan di negara orang. Meski ribet, tapi ketakutan untuk gak menemukan hal-hal yang jadi kebutuhan sehari-hari dengan mudah di awal-awal, menjadi alasan koperku selalu overweight kalau mau bepergian lama.
Setelah selesai merantau di satu tempat, packing untuk balik ini juga sulit. Dan lebih emosional. Waktu balik dari Amerika, lebih dari 75 persen bajuku kutinggal, yang kubawa adalah printilan barang lucu dan kenang-kenangan dari teman-teman, oh iya, karena aku orang Indonesia, gak lupa dong; oleh-oleh. Baju jadi barang yang paling sering aku korbankan untuk ngasih space ke hal-hal seperti diatas.
Walaupun cuma 4 bulan di Amerika, tapi aku benar-benar pusing sama masalah packing waktu itu. Dan di Padang, aku menghabiskan waktu 5 tahun. Bisa terbayang kan gimana pusingnya kepalaku untuk memaksimalkan memori selama 5 tahun itu muat dalam beberapa koper.
Tapi, aku baru menyadari satu hal, bahwa pada akhirnya, hal-hal yang paling ingin kubawa pulang, adalah hal-hal yang gak bisa kumasukin dalam koper.
Padang, Agustus 2018
akhir-akhir ini, sulit sekali rasanya mengalihkan pikiran dari segala hal tentangmu. aku ke tempat ramai, dan terdetak ketika ada yang mirip denganmu, ada yang pakai baju mirip bajumu, ada yang berdiri seperti caramu berdiri, ada yang naik motor seperti motormu, ada yang pakai tas seperti tasmu.
kenapa semua hal tentangmu begitu pasaran. aku susah jadinya.
random rant: kulit gelap gak perlu takut matahari
Jadi beberapa hari yang lalu aku upload foto tanganku yang berhasil aku ratakan warna kulitnya, dari yang awalnya belang karena bawa motor. Terus ada yang ngomen "udah gelap aja pun, ngapain takut matahari."
Sigh.
Dari situlah aku mau buat tulisan yang lebih kelihatan sebagai omelan ini. Aku juga pernah, dan sering dapat komen-komen gak enak karena warna kulitku yang cenderung gelap ini. Dari yang
"Ngapain pake ini itu, tetap itam juga nya."
"Dirawatlah mukanya biar agak putih."
sampe kalo aku dekatin anak bayi yang kulitnya putih, akan selalu ada yang ngomen
"Awas jangan dekat-dekat, nanti nempel itemnya."
Ya ya, emang selalu ada yang bakal bilang "Yaampun, itu kan cuma bercanda."
Heck. Gak bisa dinaikin dikit standar becandaanmu itu? Kita gak pernah tahu sejauh apa candaan yang gak pantas kayak gitu bakal ngefek di orang yang dibencadain. Dulu, aku sempat terpengaruh sama omongan-omongan kayak gitu. Apalagi kalo datangnya dari orang terdekat; keluarga atau teman. Aku pernah ngerasa bahwa warna kulitku ini adalah a shame. Aku pernah mematut diri di cermin dan berharap kulitku bisa lebih cerah. Aku pernah enggan menaruh lenganku diatas meja saat makan bersama orang lain hanya karena aku tahu bahwa warna kulit lenganku kontras dengan mereka. Ya, aku pernah jadi manusia tidak bersyukur macam itu.
Aku sulit sekali mengerti jalan pikiranmu ketika kamu cemburu, bahkan terkadang aku tidak menyukai caramu menunjukkan rasa cemburumu itu. Itu menyakitiku, juga. Bukankah sudah kubilang berkali-kali, tidak ada yang lain. Cuma kamu.
Terbiasa
Ini bukan tentang siapa yang lebih terluka, aku tahu kita sama-sama sedih atas apa yang telah terjadi. Juga bukan tentang siapa yang memberi keputusan dan siapa yang menerima. Bukan tentang itu.
Ini tentang bagaimana kita akhirnya harus berjalan sendiri-sendiri, tanpa tahu apakah kita saling mendekati atau menjauhi. Ini tentang bagaimana aku ingin tetap membersamaimu dalam keadaan apapun dan kau ingin menenangkan dirimu sendiri. Ini tentang aku yang merasa harus mulai mencoba menjalani semua ini tanpamu, mencoba untuk membiasakan diriku tanpamu.
Mengobati Luka (3)
Mengobati Luka (2)
Mengobati Luka (1)
Rasanya, sudah lama sekali kita tidak menikmati waktu mengobrol di sebelah jendela kaca besar ini. Duduk di satu meja yang sama ditemani minuman favorit kita masing-masing. Sesekali mengomentari kota kelahiran kita yang bisa kita lihat dari balik jendela besar itu. Atau sambil berbicara serius tentang apa yang seharusnya kita lakukan untuk bisa membuat perasaan satu sama lain menjadi lebih baik. Favoritku, adalah waktu-waktu dimana aku bisa melihat kau tersenyum, apalagi tertawa. Aku rindu sekali suara tawamu.
Bolehkah aku menyalahkan waktu yang sudah membuat kita seperti ini? Kita yang dulu punya banyak alasan untuk kembali berbaikan setelah berdebat, kau yang selalu berusaha untuk membicarakan dan menyelesaikan masalah kita tanpa tunggu besok, lalu kita yang pernah sama-sama berjuang meski mungkin bagimu, hanya kau yang saat itu berjuang.
Aku sudah mencoba dan mencari cara untuk membuat kita menjadi tidak seasing sekarang ini, setelah keputusan kita untuk mencoba lagi memperbaiki apa-apa yang sudah pernah kita putuskan, aku tetap menjalani hari-hariku sebagai diriku yang dulu, dengan menghilangkan sedikit demi sedikit hal-hal yang tidak kau suka dariku.
Aku masih antusias saat pertama kali akan melihatmu setelah berbulan-bulan lamanya, masih sama rasanya seperti saat kau mengunjungiku di Padang, atau saat liburan sebelumnya aku pulang ke Medan. Waktu-waktu dimana kita pertama kali melihat satu sama lain setelah berbulan-bulan lamanya. Tapi di liburan kemarin, aku tidak melihat antusias itu di matamu, dan di sikapmu.
Aku mencoba mengerti bahwa aku juga tidak bisa memaksamu.
Kau yang ingin cepat-cepat pergi. Dan aku yang masih ingin tinggal lebih lama.
"What? Why? Or how?"
"I've been trying so hard to be a person that I think would make someone stay with me, but along the way, I lost myself."
"Phew. Happens sometimes. But my advice, when you're lost, choose the path that makes you happy the most. You might want to go back to who you were or you might not.You should be happy, too. You deserve happiness."
31 Januari 2018
How do you write a love letter to a place? To a time? To bittersweetness?