Jawaban yang Tidak Pernah Memuaskan

Aku pernah bertanya banyak hal pada mereka.
Namun seringkali pertanyaan ku itu tidak terjawab. Maksudku, mungkin terjawab, hanya saja tidak bisa diterima akal jawabannya.

Aku ingat sekali di suatu sore, terjadi percakapan ini antara aku dengan salah satu senior ku.

"Jadi, kenapa ya Da kami disuruh pake rok dasar, terus baju kemeja kedodoran gini?"
"Ya kalian kan mahasiswa baru. Uda gak mau ngasih tau alasannya, kalian harus sadar sendiri, cari tahu kenapa. Uda juga dulu kayak gitu, gak setuju sama banyak hal, tapi akhirnya Uda sadar, kalau semua peraturan itu ada manfaatnya."

Sampai sekarang, bukannya malah ngerti, aku gak bisa dapat poin apapun dari kebanyakan peraturan yang diberi senior dulu kecuali: MEMPERSULIT. Maba itu harus menderita, gak boleh gaya-gaya, harus jelek, harus nunduk-nunduk pas jalan, kalo gak nyapa senior dibilang nantangin, padahal wajah senior-senior itu serem-serem. Gak sapa-able. (That was my thought when I was a maba).
Akhirnya aku menemukan fakta bahwa, senior-senior yang mukanya gak pernah enak dilihat itu namanya KomDis. Tau lah ya kepanjangannya, komisi disiplin.
Cuma apa ada ya pengaruh gak senyum sama junior dengan kedisiplinan? Ada?

Balik lagi ke masalah baju. Aku tidak mempermasalahkan bajunya, bagus sekali kalau kami memakai baju yang longgar, pakai rok. Hanya saja, penerapan dan penerap nya itu gak pas.
Masa iya, kami di"paksa" untuk makai baju longgar dan rok oleh seseorang yang bajunya pas banget di badan, pake celana ketat lagi.
Hilang satu poin: mengamalkan apa yang dikatakan.
Memang, itu benar, yang mereka katakan benar. Tapi substansi nya salah.
Mengerti, kan?
Yang mereka lakukan itu hanya berupa paksaan, bukan penyadaran. Hakikatnya paksaan itu, ketika sudah dibebaskan, yasudahlah. Bubar itu baju longgar-rok dasar, dan kerudung sederhana.

Terbukti, kan?

Jawaban atas pertanyaanku belum terjawab. Atau, memang tidak akan pernah terjawab, karena peraturan itu hanya sekedar sesuatu yang turun-temurun, sesuatu yang mengakar, susah untuk dihilangkan.

Itu baru pertanyaan mendasar, sederhana.

Ah iya, ada satu jawaban andalan mereka, yang kedengarannya menjanjikan, namun kalau dipikir-pikir itu bahaya:
"Ikuti ajalah prosesnya."

Jawaban yang memicu kita untuk pragmatis, untuk menerima saja apapun keadannya, dan yang paling bahaya, jawaban seperti ini yang menumpulkan kritisnya pikiran.




 How do you write a love letter to a place? To a time? To bittersweetness?