“talking to someone everyday for hours can be pretty destructive. because there will come a day when you don’t speak at all and it’s going to be the loneliest feeling in the world.

Terima kasih, untuk melakukan sebaliknya
Biasanya kalau lagi gak enak badan, aku gak langsung menyimpulkan bahwa aku kelelahan dan butuh istirahat. Karena bisa saja aku demam karena bosan, atau lagi pengen sesuatu. Entah ajaran dari mana memang. Tapi, pernah beberapa kali, ketika lagi demam, aku malah memilih hangout sama teman-temanku, hasilnya sembuh! But seriously, pas kita sakit, psikologis emang butuh ngasih obat juga. Kita musti bahagia dan optimis kalo kita gak apa-apa. Yakan anak-anak psikologi???
Jadi, itu yang kulakukan saat aku mulai meriang di kampus hari Selasa lalu. Cuaca alhamdulillah luar biasa cerah akhir-akhir ini. Aku selalu sukses sampai rumah dengan muka merah padam menuju gosong. Senin dan Selasa minggu ini, berturut-turut aku ke kampus pagi-pagi menerjang angin pagi bypass yang udah gak pernah segar lagi karena asap mobil-mobil ber roda 12 ke atas itu. Bisa jadi aku memang lelah. Tapi, sore itu aku ajak si Uni untuk mejeng. Kami makan di daerah pondok. Aku memesan batagor ikan yang sukses buat aku felt even worse. Aku lupa bahwa aku belum ada makan nasi seharian. Setelah itu aku gak selera makan apa-apa lagi. Kami lanjut nge gaul di tepi pantai, menikmati pemandangan matahari terbenam. Sampai kami di pantai, matahari masih tinggi. Angin lumayan sepoi-sepoi berpotensi bikin masuk angin- aku makin merasa sedih, eh maksudnya gak enak badan.  Matahari terbenam, kami pulang. Sesampainya di rumah, aku mandi. Selesai mandi, aku mulai bersin-bersin. Aku putuskan untuk cepat tidur. Sepertinya ini bukan demam karena bosan.
Esok paginya, suhu tubuhku 39.1 C.
Padahal hari itu aku berencana untuk bimbingan, dan juga, ada take home test yang belum aku kerjakan tapi harus di kumpul hari itu. Aku masih optimis untuk bisa ke kampus, pake GoJek. Aku kerjakan take home test ku sambil menggulung badan di selimut. Selesai take home test, aku langsung tepar lagi- pake drama muntah dulu tapi.
Siangnya, aku nge cek hp. Ada satu pesan dari dosen pembimbingku. Bapak memberitahu bahwa jika aku ingin bimbingan saat itu, Bapak ada di jurusan. Oh Bapaaaaak. Kalau saja aku masih punya sisa-sisa tenaga untuk bangkit. Karena aku hanya perlu memperlihatkan form pengamatan, jika disetujui, aku bisa mulai penelitian. Aku membalas pesan Bapak dengan meminta maaf dan menyebutkan bahwa aku sedang dilanda demam. Bapaknya membalas "Syafakillah, semoga lekas sembuh."
Itu memang cuma pesan sederhana.

Tapi, dampaknya mungkin bisa nurunin 1 derjat suhu badanku. 
Bagaimana tidak, itu dari dosen pembimbing tugas akhir ku. 
"Time and time again, people show us who they really are. They show us their true colours. Yet, bizarrely, we fail to acknowledge that, for our mind is engrossed with the idea of perceiving people as the people we want them to be. We fail to recognize their true colours because, on the canvas of our life, we view them in completely different hues. Hues that our eyes have been starved of their entire life. Hues that we’ve been longing to have on our canvas. We try to fit blank spaces with colours that’ll never fulfill the potential of turning it into a masterpiece, almost like a confusedly stubborn infant trying to fit a square into a star mould, since what we fail to comprehend is that people can never be what you want them to be, for just like us, they too have canvases of their own, which they’re busy embellishing with strokes made by the brushes of imagination and acumen, dipped by the hues of belief and hope from their palettes. We’re all looking for a specific hue. One that’ll distinguish and adorn our canvas with exquisiteness; however, we should realize that it’ll come to us at the right time to convert a mere painting into the masterpiece it’s meant to be. A hue that’ll remind us how adroit we are at what we do, and how every second of the patience has been worth it, as only by living the life of a starving artist, will we come to appreciate every brushstroke of the hue that redefines our canvas, our entire life, which will never be the same again."

Marapi Night

Malam itu, aku memutuskan untuk mengabaikan demam dan sakit tenggorokan yang kuhadapi untuk keluar malam dan bertemu Cara. Suaraku hampir hilang malam itu, tapi aku memutuskan untuk bertemu seseorang yang baru, orang asing, yang kemungkinan akan membuat aku harus berbicara banyak. Aku memang merasa cukup lelah hari itu, ditambah cuaca yang hujan seharian. Tapi tepat pukul 8 malam, aku sudah berada di depan Hoya. Aku melihat Cara yang baru aku lihat malam itu, dan 2 orang temanku yang sudah kukenal sebelumnya. Mereka sudah menunggu di dalam. Tidak, aku tidak terlambat, kami memang janji pukul 8. Mereka yang lebih cepat datang. Aku secara random memakai sweater merah marun dengan tulisan HARVARD malam itu. Saat aku menyapa Cara, aku merasa dia sedikit kaget melihat pakaianku, dan seperti orang-orang Amerika lainnya, dia memberi pujian dengan "Oh I love your sweater!". Setelah kami berbincang, aku kemudian mengetahui bahwa dia adalah lulusan Harvard. So random.

Malam itu, aku senang aku tidak memilih untuk tinggal di rumah dan selimutan. Aku bahagia berada diantara mereka. Berbicara. Tertawa. Demamku pergi sebentar, tenggorokanku pulih saat itu.
Above all, aku melihat betapa dua orang Amerika yang garis ceritanya bersinggungan denganku ini, adalah orang-orang yang mampu membuat aku takjub dengan percakapan-percakapan yang mereka bawa. Hal-hal yang mungkin sudah biasa mereka lakukan namun merupakan sebuah ketakutan bagiku.
Malam itu, Cara dan Jam tiba-tiba muncul dengan ide mendaki Marapi, salah satu gunung berapi yang masih aktif di Sumatera Barat. Aku meringis mengingat bahwa terakhir kali, aku mendengar cerita temanku yang mendaki saat merapi memuntahkan lavanya. Lava itu mengalir di depan matanya. Dia tidak apa-apa. Tapi tetap saja, hah, tidaklah.
Aku kira, Cara akan  berada di Padang selama seminggu. Ah iya, Cara sedang bekerja di Malaysia. Namun, ternyata dia akan balik hari Minggu. Which means, dia cuma di Padang untuk weekend-an.  Jumat-Sabtu-Minggu.
Lalu, kapan mau mendaki?
"RIGHT NOW!" seru Jam, membuat aku dan 1 orang temanku yang orang Indonesia juga tercengang.

Kalau dia bukan temanku, aku sudah berseru membalas dengan berkata "GILA".
Jam meminta persetujuan Cara. Dia mengangguk semangat.
Bahuku langsung meloyo. Dua bule ini benar-benar…
Aku dan Bang Vano menjelaskan apa-apa saja yang harus dipersiapkan sebelum mendaki.
"We need to go to Padang Panjang first, which takes 2 hours, and climb up for 6 hours. We don't have time."
"We will if we go right now. It's still 9, let's have snacks and coffee to go, we go to Padang Panjang at 10, and arrive at 12. We climb up, err, let's say we can make it 5 hours, we will be up there for sunrise!", meyakinkan saat Jam berbicara.
Easy to talk, easy.
Aku tidak tahu apakah memang orang Indonesia cenderung untuk memikirkan banyak hal sebelum ambil langkah, atau memang dua orang Amerika ini terlalu nekat.
Aku dan temanku sama-sama punya pemikiran bahwa naik gunung itu ribet dan gak bisa dianggap enteng. Those bules punya pemikiran: JUST DO IT!
Well, walau akhirnya kami gak jadi pergi, aku belajar beberapa hal dari kata-kata mereka, kayak:
"Nobody wrote the book "So I stayed at home instead.""
"My Dad told me this, "If you're not sure about something, just do it.""

Hahahah, kata-kata yang kedua ini benar-benar in contrary dengan gimana Mama ku mengajarkanku, "Kalo ragu, ya gak usah di lakukan, Nak.."

You grow up, you meet more people, you build conversations,

And YOU LEARN. 
Aku sedang menunggu tukang parkirnya memberi kembalian saat Papa menutup kaca mobil dan beranjak pergi.
"Loh, Pa. Kembaliannya belum?", kataku keheranan.
"Biar aja.."
"Parkirnya kan cuma 2000 Pa, itu tadi Papa kasih kebanyakan.."
"Gak apa-apa, Kak.."
Di malam itu, perjalanan pulang dari tempat les, Papa kembali bercerita tentang masa mudanya. Aku tahu bahwa Papa dulu sekolah sambil bekerja membiayai hidup di Medan, merantau dari Pasaman Barat sejak kelas 1 SMP.  Tapi cerita Papa biasanya sepotong-sepotong, sebagai pengantar kami tidur. Malam itu, Papa bercerita tentang salah satu pekerjaan yang pernah Papa lakukan dulu; tukang parkir.
"Dulu waktu Papa jadi tukang parkir, kalau ada yang lebihin uang parkirnya, Papa senaaaang kali, Kak. "
"Hmm, makanya Papa suka lebihin uang parkir buat tukang parkir ya?"
"Iya.. Gak ada salahnya kan Kak."
"Hmm, iya Pa.."

Cerita itu Papa kisahkan ketika awal-awal aku duduk di bangku SMP. Saat aku mulai diberi pengertian tentang perjuangan, bahwa hidup tidak selamanya nyaman. Sering cerita Papa membuat mata kami berkaca-kaca, kuat kami peluk Papa setelah bercerita, yang saat itu, entah sadar atau tidak kami seperti menunjukkan bahwa kami sangat bangga dengan Papa, bahwa kami ingin terus mendengar cerita Papa.
Tapi Papa pergi beberapa tahun setelahnya. Aku bahkan belum meninggalkan bangku SMP saat itu.
Kepergian Papa seolah memaksaku untuk mengumpulkan semua memori tentang Papa, semua cerita yang pernah diceritakan Papa, lalu tetap melanjutkan hidup dengan bekal itu.

Sudah 8 tahun kami tidak lagi bisa mendengar cerita Papa, tidak lagi bisa memeluk Papa, tidak lagi bisa melihat Papa memberi uang parkir berlebih, terutama jika petugas parkirnya adalah orang tua atau ibu-ibu.
Tapi cerita yang bisa diingat, berusaha aku ingat terus, dan jadikan tulisan agar tetap bisa kubaca jika aku lupa.
Kebiasaan Papa dulu, berusaha aku ikuti.
Papa, kalau dulu, ketika Papa kasih uang parkir berlebih, paling hanya anak Papa ini yang bertanya heran. Sekarang, aku terkadang bingung menyikapi tatapan bertanya teman atau orang yang melihat aku menolak kembalian parkir.
Papa, kami rindu. Tapi kami tetap simpan cerita Papa, kami coba ganti dengan doa untuk Papa. 

How to Talk to a Stranger

Kemarin, aku akhirnya membuka channel TED Talk. Terakhir kali aku buka channel ini ketika masih di US tahun lalu. Woah, sekarang waktu di US udah terkategorikan "tahun lalu". So damn fast, isn't it?
Salah satu judul yang menarik perhatianku adalah "How to Start a Conversation."
Oke ini terdengar sepele. Apa sih susahnya buat mulai ngobrol? Tinggal bilang "Hai.", kalo dijawab alhamdulillah gak dijawab ya selesai.

Ya gak sesimpel itu, kalau di TED Talk ini.
It was a mind blowing talk. Seriously. Habis nonton itu, aku jadi langsung pengen nyari orang asing dan mraktekin apa yang barusan kutonton, tapi gak jadi ding. Soalnya aku nonton video itu malam-malam di rumah. Hahaha.
Tapi, hari ini, aku benar-benar dapat kesempatan untuk ngobrol sama a stranger. Perfectly a stranger!
Di American Corner.

Aku lagi duduk sambil browsing di ruang multimedia. Ruang multimedia ini kayak ruang kelas gitu, tertutup dan cuma dipake kalo ada kegiatan mengajar atau English Club. Karena siang ini lagi kosong, aku duduk disitu. Pintunya kututup. Tiba-tiba, ada yang nongolin kepalanya. Aku mengalihkan kepalaku sebentar dari layar laptop.
"Eng... Ada yang bisa dibantu?"
Dia kemudian nyelonong masuk dan duduk di depanku.

End of Workshop Reflection

source: World Learning

During our 4 days in the busy Washington DC, we had a lot to learn. We had a lot to talk. Furthermore, we had a lot to remember.
We were looking back to the past 3 months of our life in here, United States. And it just instantly threw me back to some details that I will always remember for the rest of my life.

I let my self think about how nervous I was, sitting on the airplane alone without anyone I knew to talk to. I thought about the very first time I jumped out from the plane after a long long flight. I thought about the first hug I got from my UGRAD fellow from Dominican Republic. I thought about my first Walmart shopping. How big Walmart is, really got me speechless. I thought about my first night in my room, tired but couldn't sleep, just overexciting what I was gonna do and whom I was gonna meet the next day. I thought about my first class, was so afraid if I couldn't understand what my professor said. I thought about the nights I spent doing my tasks, online quizes, and staying at the library until 2 AM with my friends. I thought about my effort trying to go to the gym on daily basis, not because I want to lose weight, but just to prevent gaining more weight while eating all those delicious foods in the cafetaria.

I thought about all the goods and the bads. There was a time when I thought that I made the best decision to go to US, but there was also time when I wanted to go home very bad.
I miss several things back home, but I, for sure, treasure a lot of new things I found in here.

To be completely honest, I've changed. That would be a lie if I said I am the same girl as I used to be before I went to US. I encountered many things that opened my eyes to the new things of life. I was placed in situations where I had to stand on my own and take important decisions. I met a lot of incredible individuals, talked to them, knew them, and made space for them in my heart.  I will always remember them.

My exchange semester was a gem. Not to mention that I got to visit one of the most awesome cities in the world- New York, that I had never have a mind about. Spent 5 days 4 nights with 2 amazing girls from Kazakhstan and South Korea. Went to places and successfully awed many times. Finally saw the buildings, the streets, and the New Yorkers I once watched just from the movies. My world went from 2D to 3D. I would never be able to watch any movie which took place in New York without saying to myself "I've been there..."

But some people may have a thought that I was just travelling during my exchange period. Nope. I didn't travel that much. I enjoyed staying in Tennessee as well. I stayed in Cookeville. A great small city to live in. I got involved in local festivals, I went out with my host family and close friends to do Trick or Treat in Halloween. The childhood dream of mine which came true. I got a full big bag of chocolates and candies, couldn't be happier. People are so kind and helpful.
I had a chance to celebrate Thanksgiving with my American family. I didn't feel strange yet I felt like they are my family that I just found.

This is more than an exchange for me. This is a journey of myself, an adventure of my soul. A road that takes me to another home.  
This is one of the best decisions I've ever made in my life.
This is the time of my life I will never forget, the thing that will always be a part of me.


(Another delayed post. It's been 8 months since the day I wrote this. I just need to remind myself that, hell, life goes on.)

8 Years

I watched Extremely Loud & Incredibly Close today. In the movie, the main character, Oscar, said this:

"If the sun were to explode, you wouldn't even know about it for 8 minutes because thats how long it takes for light to travel to us. For eight minutes the world would still be bright and it would still feel warm. It was a year since my dad died and I could feel my eight minutes with him... were running out"

Oscar, it's been 8 years for me, today.. I'm doing my best to keep my 8 minutes with my dad, I do everything to make it lasts longer. 
Bagaimana jika masa lalu mu datang kembali, dan ingin memperbaiki apa yang pernah terjadi?
Membawa jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang selama ini masih terus kau pertanyakan.

Kau mungkin akan goyah, hal-hal terbaik dan terindah memang terkadang perlu sakit dulu untuk akhirnya dimiliki. 
Tapi, buat apa membuka kembali apa yang dulu sudah terlanjur kita tutup?
Di dunia ini, ada hal-hal yang sebenarnya sudah berakhir, dan tidak mesti dilanjutkan lagi. Tidak semua cerita memiliki akhir bahagia. Pertanyaan-pertanyaan itu pun mungkin sudah terjawab, hanya saja manusia terkadang tidak ingin menerima karena itu bukan jawaban yang diinginkan. 
Ikhlaskanlah, akhirnya mungkin memang harus begitu. 

First Goodbye


Aku sangat sadar bahwa akan selalu ada perpisahan untuk suatu perjumpaan. Dan hari ini, aku melambaikan lambaian selamat tinggal untuk pertama kalinya semenjak aku di Amerika.
Workshop di Washington DC telah usai. Malam itu, malam terakhir, adalah waktu yang paling emosional. Aku berusaha keras untuk tidak menangis. Well, aku tidak menangis untuk orang-orang yang baru kutemui, camku dalam hati.
Aku baru bertemu mereka 3 hari yang lalu.
Tapi, kenapa di hari terakhir ini, aku merasa bahwa ada bagian diriku di mereka. Aku melihat diriku di diri mereka.
Aku merasa aku punya banyak momen "me too!" dengan mereka.
Momen "me too!" ini begitu terasa di hari terakhir workshop. Ketika kami sama-sama menuliskan perasaan kami tentang beberapa hal.
Ini menyangkut kembalinya kami ke negara asal kami masing-masing.
Di ruangan itu, ditempeli beberapa kertas karton besar dengan judul di masing-masing bagian atasnya.
"How I see my community"
"Returning to school or work"
"Family and friends"
"My future goals and plans"
"My personal growth"


Slight Reminder

We've got an e-mail from World Learning today. It's the best e-mail of the week, they said. Because it came along with our tickets to Washington DC.
I was so excited for the first seconds, and it switched to a reminder that my stay in this country is coming to an end. Yes, this workshop that I'm gonna attend is labelled as "End of Program Workshop."
I have to get ready for leaving.
God, even just thinking of it has made my heart beats so fast. It's not a happy beat, btw.
It was, a nervous. A got-some-butterflies-on-my-stomach beat.

In the afternoon, I skyped with Lauren, one of my advisors. She asked me some necessary questions about my classes, comunity services, and other school stuffs. Before we ended the call, Lauren said:
"See you next week in DC, Winni.", in a cheerful way of saying.
Yes, Lauren, see you next week.
Let me put aside my thought of leaving and write some happy things that I should be thankful for.

I'm so looking forward to seeing Lauren, Roya, and all World Learning staffs in Washington DC. All the people behind this exchange program, they work so hard to make so many people's dreams come true. They make our journey in USA possible, they are, GEM.
At first, I thought that it would be so fun to be in their position, I mean, to have that kind of job. Well, yeah it is so fun, they work on diversity, on mutual understanding, on helping great youngsters to pursue their dreams. But it is not only about the fun. They work hard. Very hard. They arranged our schools, they reserved our tickets, they made sure that we catched up our connecting flight, they stayed awake when we were travelling to US, from our home countries. They made sure that we arrived in our university safely. We talked for several times during the semester, they cared about whether we enjoy the foods, the dorm, or having some good friends. Yeah. We owe them a lot.
They are so kind.
I would hug them so tight when I get to meet them. I will never forget about them.
No, they give me love, help, kindness, and a feeling of being so lucky to be able to meet them in my life.
Thank you for helping us, World Learning.

I learn a lot.

Seriously.

7 November 2016

Our Fear

Jum'at, 2 Desember 2016.

Tepat seminggu sebelum aku meninggalkan US. Aku tidak ada kuliah tiap hari Jum'at. Begitupun Honggyoung dan Tina, dua orang teman dekatku selama disini. 
Kebanyakan internasional student (terutama yang hanya exchange) memang sengaja tidak mengambil kelas hari Jum'at. 
Agar bisa jalan-jalan. Pikir kami. 
Tapi minggu ini, kami tidak ada rencana kemana-mana. Ini adalah weekend terakhirku di kampus. Aku ingin menghabiskannya hanya di kampus.
Aku bangkit dari tempat tidur sekitar pukul 9. Menelepon Honggyoung, menanyakan apakah dia mau sarapan bareng. Telepon ku yang membangunkannya, suaranya berat. Setelah itu, aku keluar kamar untuk mencuci muka. Sekalian mengetuk kamar Tina. Tina juga baru bangun ternyata. 
"Let's have breakfast in 15 minutes."
Dia mengangguk. 
Kukira dia akan meminta tambahan waktu. Untuk mandi dan sebagainya. 
15 menit kemudian, aku sudah berdiri diantara Tina dan Honggyoung, di depan asrama. Cuaca cukup dingin hari ini. Kulihat tadi subuh-subuh sekitar -2 derajat. 
Kami berhenti sejenak. Berdiri, melihat penampilan satu sama lain.
Tidak ada satupun dari kami yang mandi pagi itu, tidak pula ber make up. Kami hanya memakai pelembab bibir supaya bibir kami tidak pecah-pecah. Tina memakai topi nya, pertanda dia tidak ber-make up. Honggyoung masih jelas dengan muka bantalnya. Aku? Aku masih dengan piyama dan jilbab yang kusut.
Kami berjalan dengan pede menuju kafetaria.
Karena hari Jum'at dan masih terbilang pagi, kafetaria tidak terlalu ramai. Kami memilih tempat duduk di dekat jendela besar yang menghadap gedung perkuliahan. Tempat duduk favorit kami.

Setelah mengambil makanan, kami duduk. Tidak langsung mulai makan.
Tina memulai percakapan.
Dia berkata bahwa dia sedikit takut untuk balik ke Jepang, negaranya.
Kami tanya kenapa, dia jawab karena dia sudah kurang peduli dengan penampilannya. Dia sudah nyaman dengan muka bantal dan baju tidur kemana-mana. Sedangkan di negaranya, orang-orang "terlalu" peduli dengan penampilan orang lain.
Honggyoung langsung dengan semangat menimpali.
Dia merupakan satu dari sedikit orang Korea yang jarang ber-makeup.
Selama satu semester ini, mungkin aku bisa menghitung dengan jari sebelah tangan, berapa kali dia ber-makeup.
Tapi dia bilang, di negaranya, orang bahkan men-judge seseorang tidak sopan jika menunjukkan "bare face" atau muka polos tanpa makeup mereka ke orang lain.
Aku menghela napas.
Aku sendiri?
Aku sudah lupa kapan terakhir kali aku menggosok baju. Aku sudah jarang menghabiskan waktu belasan menit untuk mematut diriku di cermin sambil berfikir "Ini jilbab sama baju cocok gak ya? Tabrak lari gak ya?"
Kami sudah nyaman dengan keadaan seperti ini.
Tidak ada yang akan mengomentari muka bantal kami, muka tanpa makeup kami, dan baju kusut kami.
Tidak ada yang akan menertawakan jika baju kami tidak matching atau apalah.
Tapi, jika kami menggunakan baju yang menarik, orang-orang tidak akan segan untuk memuji.
"Oh I love your outfit!"
"Your hijab is so beautiful!"
"What a nice shoes!"

Kami harus beradaptasi lagi.
Ke budaya dan tekanan sosial yang sudah kami jalani kurang lebih 20 tahun ini.
Meninggalkan 4 bulan yang banyak mengubah cara pandang dan cara berperilaku kami.
4 bulan dan 20 tahun.

Ini gak akan sulit, kan?

(3)


Dua hal yang membuatku merasa tenang setelah kembali dari Amerika
Adalah jendela kaca besar, dan Medan dari ketinggian

Pergi jauh membuatku mampu melihat beberapa hal dalam jarak
Teman, lingkungan
Sialnya, aku terlalu menikmati jarak itu
Hingga ketika aku kembali, dan jarak itu hilang
Aku merasa asing
Aku merasa kecewa
Aku menikmati melihat kehidupanku selama 20 tahun ini, dari jarak yang jauh
Benar, bahwa jarak mampu membuat hal-hal menjadi lebih indah dan bagus dipandang
Tapi itu bisa berarti, bahwa hal-hal tersebut memang seharusnya hanya dilihat dengan jarak
Dekat hanya akan membawa kekecewaan
Menabur luka

Terima kasih telah mengenalkan ku pada satu tempat dengan jendela kaca besar, dan ketinggian
Sehingga aku kembali bisa melihat kotaku dari ketinggian. Dengan jarak.

Aku, merindukan jarak itu...

Medan, 13 Desember 2016
21.35

(2)

Ruang Tunggu


Nashville, Detroit, Tokyo, Jakarta
Mereka sekarang memiliki satu kesamaan
Ruang tunggu bandaranya pernah menjadi saksi bisu
Percakapan kita

Aku tidak pernah merasa sebahagia ini ketika menunggu
Apalagi menunggu waktu untuk terbang
Semua kegelisahanku menguap
Sakit perutku hilang

Di beberapa tempat, antara 9 dan 10 Desember 2016

(1)


Ketertarikanmu dan ketakutanku.
Akan satu hal yang sama.
Pesawat.
Mungkin ini yang membuat kita dekat.
Mengesampingkan bahwa mungkin kita sama-sama sedang memiliki luka.
Kita sedang sama-sama memperbaiki sayap-sayap kita yang patah.
Harapan-harapan kita yang kandas.

Tapi kita boleh memilih, bukan?
Apakah kita memilih suka atau duka.
Aku memilih suka.
Aku memilih pesawat sebagai yang mendekatkan kita.

Sebab pesawat mampu melambungkan kita setinggi-tingginya.
Sedang luka, akan menjatuhkan kita sedalam-dalamnya. 


Cookeville, 07/12/16 
10.12 PM 

New York, New York...

One of my friends asked me, how did I love New York. Yes, I had been to the one of most wonderful cities in the world: New York.
I managed myself to spend 5 days and 4 nights in the city that never sleeps (people said).
I strolled around every corner of the streets and got nothing but excitement. The feeling that I had never felt before. I felt mesmerized.
I couldn't help myself not to always look up while walking down the streets to the midtown.
Every building has its own beauty.
Every place has its own story to tell. 

New York itu, ramai sekali.
Aku yang pertama kali di Amerika menginjakkan kaki di Tennessee, yang notabene adalah daerah pedesaan, merasa kaget ketika datang ke New York.
Ini seriusan masih di Amerika? Pikirku.
Jalanan ramai oleh turis, pedagang, serta New Yorkers yang baru pulang kerja dan jalan cepat-cepat. Tepat seperti yang di film-film itu.
Ketika ditanya apa yang paling kusuka dari New York, aku butuh waktu lama untuk menjawabnya. Pikiranku lompat-lompat diantara tempat-tempat dan atraksi-atraksi yang pernah aku kukunjungi di New York.
Lalu aku bingung.
Apa yang paling kusuka?
Aku melongo melihat betapa besarnya patung Lady Liberty, tercengang melihat gedung-gedung tinggi Manhattan dari kapal ferry yang membawa kami ke pulau tempatnya patung Liberty, aku menahan napas ketika mendongak ke Empire States Building (gedung tertinggi di New York), lalu aku merasa di planet lain ketika berdiri di tengah-tengah pusat kota New York yang penuh dengan layar itu... yes, Times Square.
Setiap sudut kota New York adalah hal-hal terbaik yang pernah kulihat. Merupakan tugas yang sulit kalau aku diharuskan mengurut satu sampai sekian untuk hal-hal yang kusuka di New York.
Semua punya porsi dan kesan masing-masing di hati dan pikiranku.
Bukan hanya kemegahan gedung-gedung yang membuat ku terkesima.
Seorang polisi yang membentang sajadahnya di pinggir jalan dan menyempatkan sholat disela-sela waktu kerjanya berhasil membuatku berhenti sejenak, menepi, memuhasabahi diriku, di tengah hiruk pikuk kota ini, di tengah kebahagian akan rejeki dari Allah yang membuat aku bisa menginjakkan kaki di Amerika, aku pun menahan air mata kemudian berlalu, melanjutkan perjalanan ku.
Seorang wanita dengan hijab yang bekerja di salah satu toko kue paling terkenal di New York.
Petugas subway yang rela naik turun tangga 3 lantai hanya untuk memastikan bahwa kami bisa naik subway yang benar.
Orang-orang asing mengucap "Assalamualaikum."
Perjalanan ku sendiri mengitari New York dari Uptown hingga Dowtnown. 
Anjing-anjing lucu yang entah kenapa banyak melihat ke arahku.
Pedagang-pedagang dari yang ramah sampai yang tidak bisa bahasa inggris di Chinatown.
Orang-orang dengan kaos bertuliskan "Free Hugs" di Times Square.
Aroma kopi setiap pagi.
Halal food trucks.
Musisi-musisi jalanan yang gak kalah keren sama One Direction.
Toko-toko barang ber-merk; Victoria Secret, GAP, H&M..
Toko pizza di tengah kota yang tidak kami sangka memiliki pizza yang luar biasa enak dan murah. 
Perpustakaan. 
Subway. Subway yang kencang dan berada di bawah tanah. Di bawah gedung-gedung pencakar langit itu. 
Berbagai macam orang dengan pekerjaannya masing-masing, jalan terburu-buru. 
Turis yang sibuk foto-foto.
Youtuber yang sibuk buat vlog. 
FOTOGRAFER YANG JUDES.
Gemerlap lampu yang menyilaukan tapi tidak membuat kami enggan memandangnya. 
Berlapis kehidupan dengan warna berbeda. 

Begitulah New York membekas di hatiku. 
Aku akan kembali, aku akan kesana lagi. 
Secepatnya.
 

Help Me......

So, this is another random writing. Err it's not really random since I've been struggling with this the previous weeks.
The day after I got back to Indonesia, I read a quote from my UGRAD fellow. She wrote: "This U.S experience gives me more strength and courage. I'm ready to face challenges no mather how hard they will be."
It was blowing my mind. It was giving me like, somehow a power to lift up my head and survive the reverse culture shock. It made me think that, I've been to America, alone, made my 4 months there went incredibly well. So, I definitely can stand this. Yes.
That was my thought.
It's been almost 2 months.
I don't want to exaggerate anything or what, but it seems like it will take me forever to get over my exchange. I don't want to but I keep comparing everything in here to back in the US. I keep searching for what I had.
Am I being ungrateful?

I'm saying this not because I'm not trying to re-adjust. 
I am. I definitely am. 
But lately, things just go harder. Harder than before. I thought that the beginning was the hardest part. After I started it, things might get easier. 

Now I'm struggling with a lot of things. 
Everything and  everyone seems to give me a hard time.
I'm tired. I'm exhausted. I'm... what else? Aku capek. 

I don't know if anybody would read my blog ever again. 
But if you, yes you, are reading this.. could you help me?
Help me, help me get myself through this hard time. Don't give me another hard time by asking me why or asking me for explanation. It's kind of a burden to me. 
Just, tell me that everything is gonna be fine. I've been telling this to myself thousand times. Probably it's gonna be different if somebody else says it to me.

Help me...
:'( 

-Padang, 28 01 17
 

 How do you write a love letter to a place? To a time? To bittersweetness?