Mencintai karena Allah?

"Kak, sebenarnya apa hakikat mencintai karena Allah itu? Itu mungkin tidak?"
"Sangat mungkin. Kalau Winni mencintai seseorang karena ketakwaannya kepada Allah, itu sudah bisa dibilang mencintai karena Allah. Kalau esensi dan caranya benar, maka Winni gak akan peduli, apakah orang yang Winni cintai itu akan membalas cinta Winni atau tidak. Karena sebenarnya yang Winni cintai itu adalah Allah, maka Winni hanya akan berharap Allah-lah yang membalasnya, baik melalui orang yang Winni cintai tersebut ataupun orang lain."
"Hoo," 
"Dan, kita disunahkan untuk mengungkapkan rasa cinta kita tersebut. Tapi kalau kepada laki-laki yang belum halal gak boleh loh. Darimana kita tahu bahwa dia itu taat kepada Allah? Kalau kita sudah menyimpulkan seperti itu, berarti kita kepo-in dia kan? Ini udah ngelanggar nilai-nilai yang kakak bilang diawal tadi. Caranya gak benar." 
Jeder! Kok kayaknya musrifah ku yang satu ini bisa membaca pikiranku wkwkwk. 
Tiba-tiba saja kalimat yang kubaca di fanpage Tere Liye itu menari-nari di benakku.
"Apa memang sesuka itu?"
Aku? 
Aku rasa tidak. Aku hanya ingin menghibur diri saja saat dihimpit deadline dari berbagai arah. 
Tapi yang tadi itu sungguh diluar kendali ku. 
Aku memutar arah dan mendekatinya. Seperti biasa, terselip satu batang kecil yang paling kubenci disela jari telunjuk dan tengahnya. 
Laboratorium ini sudah berbau oli dan bau-bau perkakas mesin yang lain, tidak bisakah manusianya berhenti menambah pencemaran udara? 
Kalau aku berpikir secara waras, aku pasti sudah memutar arah kembali. Sejak kapan aku tahan berlama-lama diruangan bersama perokok? Kecuali itu terpaksa-sangat terpaksa.
Tapi ini? Aku yang memilih. 
Aku sudah didepannya sekarang. Lalu? 
Aku diam. Dia membelakangiku, Tertawa melihat teman-temannya mempermainkan-atau mengospek istilah lainnya- beberapa mahasiswa baru. Aku meringis. Aku benar-benar sudah gila kurasa. 
Kuputuskan untuk pergi saja sebelum dia melihatku. Sesaat aku akan melangkahkan kaki, seorang temannya yang menyadari kehadiranku bersorak.
"Bro, praktikan tuh."
Dia langsung membalikkan badan.
Sekarang menghadapku.
Woah.
Aku mau ngapain tadi?
"Ada apa?"
"Eng, gini kak, kemarin bapak dosennya ngasih soal di kelas, saya agak kurang mengerti. Kakak bisa bantu?"
"Mana soalnya?" dia memindahkan tangannya yang memegang rokok tepat didekatku. Aku yang tidak siap langsung terbatuk. Mungkin dia sadar, dia mencari tempat untuk meletakkan rokoknya sementara. Nihil. 
Akhirnya dia tetap memegang rokok ditangan kirinya. Aku menyodorkan sebuah kertas. 
"Ini kak, kalau pada perhitungan waktunya, sudut antar dua lingkaran ini berpengaruh gak?"
Dia berpikir sejenak. Entah berpikir atau berusaha membaca tulisanku yang luar biasa berseni itu.
"Kalau pada proses gurdi, ini gak berpengaruh kok. Tapi kalau proses sekrap , sudut itu paling digunakan cuma untuk pemrogramannya. Pokoknya pahatnya itu nanti jadinya blablabla."
Dia menggerakkan penanya diatas kertasku. Dengan satu kaki yang ditekuk dan diangkat keatas. Poninya yang panjang itu menutupi hampir seluruh dahinya. Bahkan sampai ke lensa sebelah kiri kacamatanya. Celana jeansnya dicoraki beberapa bercak hitam, bekas oli mungkin. 
Dia mendongak, "ngerti kan?"
"Ngerti kak. Yang ini pake rumus phitagoras berarti kan kak?" 
"Ha iya, betul."
"Oke makasi kak."
"Yop."
Aku beranjak meninggalkan dia. Membawa satu kepastian. Aku tidak benar-benar suka padanya. Jantungku masih berdegup secara normal. Biasa saja. 
Menarilah dan terus tertawa 
Walau dunia tak seindah surga 
Bersyukurlah pada yang kuasa 
Cinta kita di dunia
Selamanya

Lagi Apa?

Lagi terseok-seok.
Mempertahankan keadaan necking agar jangan sampai fracture.
Walau tidak mungkin setelah necking akan kembali lagi seperti halnya yield, namun tidak semua teori terbukti dalam implementasinya, kan?


 How do you write a love letter to a place? To a time? To bittersweetness?