Some Advice From a Friend

Ini masih tentang kuliah.
Ada seorang teman yang sering memarahiku karena terlalu bodoh untuk tidak melawan ketika dihadapkan dengan situasi seperti yang kemarin-kemarin itu. Terakhir aku mengabarkannya bahwa aku mengikuti ujian ulang. Dia sangat mendukung. Aku baru mengabarinya lagi hari ini. Dua kabar itu.
Dia tidak banyak berkomentar. Hanya mengetik dan mengirim beberapa kalimat ini :
can't argue with that

well, hope for the best, prepare for the worst

good luck fighting your way out there... the important thing is, KEEP ALIVE...

i'll provide support if u need buddy...
thank you so much for caring, i will survive anyway hahaha

hell yeah....
and promise not to be as stupid as i was

well, i can't provide close air support.... but, if u need artillery fire, i'll give a damn rocket....

Selamat Datang, SMA kelas 4 semester 3

Seorang teman berkomentar bahwa lebih sakit rasanya ketika sudah lulus tapi tidak diizinkan oleh orang tua ketimbang tidak lulus.
Mungkin iya.
Pengumuman ujian SBM tahun ini sudah keluar, mungkin memang rezeki, aku lulus.Walaupun sudah bisa terima kalau akhirnya memang aku tidak lulus. Ya kalau tidak lulus aku masih bisa melanjutkan kuliah di sana. Mau tidak mau ya harus mau.
Aku lulus di pilihan ketiga. Di kampus yang memang ingin aku letakkan di formulir SNMPTN aku tahun lalu, namun baru kesampaian di SBM tahun ini.
Aku selama ini mengira Mama mungkin akan mengizinkan aku ke Jawa kalau aku sudah lulus. Atau rencana B, aku akan menceritakan bagaimana keadaan aku di kampusku sekarang. Aku sudah bisa membayangkan Mama akan terlihat iba dan mendukung aku untuk mengulang setahun lagi di pilihan ketiga SBM ku ini. Karena pada setiap orang yang aku ceritakan tentang keadaan perkuliahan ku, tidak ada satupun yang mendukung aku untuk tetap disana.
Namun inilah keadaan yang memicu komentar salah seorang temanku di awal tulisan tadi. Sudah lulus tapi tidak dikasih izin. S2K. Sedih Sakit Kecewa.
Aku sudah berusaha berhari-hari bermalam-malam untuk membujuk Mama. Namun jawaban Mama berubah-ubah, tapi artinya tetap sama. Tidak boleh.
Bahkan kalau aku memang tidak betah di sana, di kampusku sekarang, aku boleh balik saja ke Medan, melanjutkan kuliah disini saja. Tidak masalah. Begitu nasihat Mama yang entah kenapa membuat dadaku rasanya sesak sekali.
Aku ingin sekali kesana. Sangat ingin. Aku tidak peduli akan perjuangan ku selama setahun ini. Aku rasa tidak akan ada yang sia-sia di hidup ini. Biarlah yang setahun kemarin jadi pelajaran penting buatku. Dan tentu saja di kampus baruku (kalau seandainya jadi) sudah bisa dipastikan tidak ada pembodohan-pembodohan seperti ini. Aku sudah menanyakan ke salah satu senior yang aku kenal.
Tapi Allah mungkin punya skenario lain, skenario ku kalah mantap. Ya jelaslah, kalah jauuh malah. Tak usah dibandingkan. Tulisan "Selamat Anda lulus SBMPTN 2014" kemarin mungkin adalah cara Nya agar aku mengucap syukur lebih sering.

Aku rasa aku memang harus kembali kesana. Aku belum bisa mencari alasan lain selain tidak ingin melawan orangtua memang. Tapi aku percaya bahwa Allah tidak pernah tidur, Dia Sang Maha Pengatur. 
Terkadang kita tidak harus memaksa orang-orang untuk memahami kita. Ini akan rentan membuat hati kecewa ketika ada seorang saja yang tidak bisa memahami kita. 
Cobalah untuk menjadi yang memahami. Pahami orang-orang di sekitar kita. Jadi seandainya mereka melakukan sesuatu yang mungkin tidak seperti yang kita inginkan, kita bisa paham, bahwa memang dia seperti itu. 
Ini akan mengurangi intensitas kekecewaan. 

Sebenarnya kalau dipikir-pikir, aku kurang memberontak saat di ruangan kurang lebih 3x6 meter kemarin itu. Setelah beberapa menit sebelum tidur tadi malam aku kembali mengingat berapa banyak waktu berhargaku terbuang sia-sia yang secara langsung maupun tidak langsung adalah karena mereka.
Yah, sebenarnya salahku juga. Aku ini hanya berani mengomel di belakang, berkoar-merepet-mengumpat hanya pada kawan sekamar. Lalu di depan mereka aku mungkin cuma bisa memasang tampang semasam mungkin. Membelalakkan mata sebesar mungkin. Mengerucutkan bibir sekerucut mungkin.
Supaya mereka tahu, aku tidak rela diperlakukan setidak adil ini. Aku punya hak untuk menentukan kemana seharusnya waktuku kuhabiskan, kemana seharusnya tenaga dan pikiranku kucurahkan.
Mungkin memang aku yang terlalu lemot. Sudah setahun dibeginikan, aku masih saja belum bisa mengambil nilai positif yang signifikan. Aku masih belum tahu apa tujuan mereka. Entahlah

 How do you write a love letter to a place? To a time? To bittersweetness?