Our Fear

Jum'at, 2 Desember 2016.

Tepat seminggu sebelum aku meninggalkan US. Aku tidak ada kuliah tiap hari Jum'at. Begitupun Honggyoung dan Tina, dua orang teman dekatku selama disini. 
Kebanyakan internasional student (terutama yang hanya exchange) memang sengaja tidak mengambil kelas hari Jum'at. 
Agar bisa jalan-jalan. Pikir kami. 
Tapi minggu ini, kami tidak ada rencana kemana-mana. Ini adalah weekend terakhirku di kampus. Aku ingin menghabiskannya hanya di kampus.
Aku bangkit dari tempat tidur sekitar pukul 9. Menelepon Honggyoung, menanyakan apakah dia mau sarapan bareng. Telepon ku yang membangunkannya, suaranya berat. Setelah itu, aku keluar kamar untuk mencuci muka. Sekalian mengetuk kamar Tina. Tina juga baru bangun ternyata. 
"Let's have breakfast in 15 minutes."
Dia mengangguk. 
Kukira dia akan meminta tambahan waktu. Untuk mandi dan sebagainya. 
15 menit kemudian, aku sudah berdiri diantara Tina dan Honggyoung, di depan asrama. Cuaca cukup dingin hari ini. Kulihat tadi subuh-subuh sekitar -2 derajat. 
Kami berhenti sejenak. Berdiri, melihat penampilan satu sama lain.
Tidak ada satupun dari kami yang mandi pagi itu, tidak pula ber make up. Kami hanya memakai pelembab bibir supaya bibir kami tidak pecah-pecah. Tina memakai topi nya, pertanda dia tidak ber-make up. Honggyoung masih jelas dengan muka bantalnya. Aku? Aku masih dengan piyama dan jilbab yang kusut.
Kami berjalan dengan pede menuju kafetaria.
Karena hari Jum'at dan masih terbilang pagi, kafetaria tidak terlalu ramai. Kami memilih tempat duduk di dekat jendela besar yang menghadap gedung perkuliahan. Tempat duduk favorit kami.

Setelah mengambil makanan, kami duduk. Tidak langsung mulai makan.
Tina memulai percakapan.
Dia berkata bahwa dia sedikit takut untuk balik ke Jepang, negaranya.
Kami tanya kenapa, dia jawab karena dia sudah kurang peduli dengan penampilannya. Dia sudah nyaman dengan muka bantal dan baju tidur kemana-mana. Sedangkan di negaranya, orang-orang "terlalu" peduli dengan penampilan orang lain.
Honggyoung langsung dengan semangat menimpali.
Dia merupakan satu dari sedikit orang Korea yang jarang ber-makeup.
Selama satu semester ini, mungkin aku bisa menghitung dengan jari sebelah tangan, berapa kali dia ber-makeup.
Tapi dia bilang, di negaranya, orang bahkan men-judge seseorang tidak sopan jika menunjukkan "bare face" atau muka polos tanpa makeup mereka ke orang lain.
Aku menghela napas.
Aku sendiri?
Aku sudah lupa kapan terakhir kali aku menggosok baju. Aku sudah jarang menghabiskan waktu belasan menit untuk mematut diriku di cermin sambil berfikir "Ini jilbab sama baju cocok gak ya? Tabrak lari gak ya?"
Kami sudah nyaman dengan keadaan seperti ini.
Tidak ada yang akan mengomentari muka bantal kami, muka tanpa makeup kami, dan baju kusut kami.
Tidak ada yang akan menertawakan jika baju kami tidak matching atau apalah.
Tapi, jika kami menggunakan baju yang menarik, orang-orang tidak akan segan untuk memuji.
"Oh I love your outfit!"
"Your hijab is so beautiful!"
"What a nice shoes!"

Kami harus beradaptasi lagi.
Ke budaya dan tekanan sosial yang sudah kami jalani kurang lebih 20 tahun ini.
Meninggalkan 4 bulan yang banyak mengubah cara pandang dan cara berperilaku kami.
4 bulan dan 20 tahun.

Ini gak akan sulit, kan?

(3)


Dua hal yang membuatku merasa tenang setelah kembali dari Amerika
Adalah jendela kaca besar, dan Medan dari ketinggian

Pergi jauh membuatku mampu melihat beberapa hal dalam jarak
Teman, lingkungan
Sialnya, aku terlalu menikmati jarak itu
Hingga ketika aku kembali, dan jarak itu hilang
Aku merasa asing
Aku merasa kecewa
Aku menikmati melihat kehidupanku selama 20 tahun ini, dari jarak yang jauh
Benar, bahwa jarak mampu membuat hal-hal menjadi lebih indah dan bagus dipandang
Tapi itu bisa berarti, bahwa hal-hal tersebut memang seharusnya hanya dilihat dengan jarak
Dekat hanya akan membawa kekecewaan
Menabur luka

Terima kasih telah mengenalkan ku pada satu tempat dengan jendela kaca besar, dan ketinggian
Sehingga aku kembali bisa melihat kotaku dari ketinggian. Dengan jarak.

Aku, merindukan jarak itu...

Medan, 13 Desember 2016
21.35

(2)

Ruang Tunggu


Nashville, Detroit, Tokyo, Jakarta
Mereka sekarang memiliki satu kesamaan
Ruang tunggu bandaranya pernah menjadi saksi bisu
Percakapan kita

Aku tidak pernah merasa sebahagia ini ketika menunggu
Apalagi menunggu waktu untuk terbang
Semua kegelisahanku menguap
Sakit perutku hilang

Di beberapa tempat, antara 9 dan 10 Desember 2016

(1)


Ketertarikanmu dan ketakutanku.
Akan satu hal yang sama.
Pesawat.
Mungkin ini yang membuat kita dekat.
Mengesampingkan bahwa mungkin kita sama-sama sedang memiliki luka.
Kita sedang sama-sama memperbaiki sayap-sayap kita yang patah.
Harapan-harapan kita yang kandas.

Tapi kita boleh memilih, bukan?
Apakah kita memilih suka atau duka.
Aku memilih suka.
Aku memilih pesawat sebagai yang mendekatkan kita.

Sebab pesawat mampu melambungkan kita setinggi-tingginya.
Sedang luka, akan menjatuhkan kita sedalam-dalamnya. 


Cookeville, 07/12/16 
10.12 PM 

New York, New York...

One of my friends asked me, how did I love New York. Yes, I had been to the one of most wonderful cities in the world: New York.
I managed myself to spend 5 days and 4 nights in the city that never sleeps (people said).
I strolled around every corner of the streets and got nothing but excitement. The feeling that I had never felt before. I felt mesmerized.
I couldn't help myself not to always look up while walking down the streets to the midtown.
Every building has its own beauty.
Every place has its own story to tell. 

New York itu, ramai sekali.
Aku yang pertama kali di Amerika menginjakkan kaki di Tennessee, yang notabene adalah daerah pedesaan, merasa kaget ketika datang ke New York.
Ini seriusan masih di Amerika? Pikirku.
Jalanan ramai oleh turis, pedagang, serta New Yorkers yang baru pulang kerja dan jalan cepat-cepat. Tepat seperti yang di film-film itu.
Ketika ditanya apa yang paling kusuka dari New York, aku butuh waktu lama untuk menjawabnya. Pikiranku lompat-lompat diantara tempat-tempat dan atraksi-atraksi yang pernah aku kukunjungi di New York.
Lalu aku bingung.
Apa yang paling kusuka?
Aku melongo melihat betapa besarnya patung Lady Liberty, tercengang melihat gedung-gedung tinggi Manhattan dari kapal ferry yang membawa kami ke pulau tempatnya patung Liberty, aku menahan napas ketika mendongak ke Empire States Building (gedung tertinggi di New York), lalu aku merasa di planet lain ketika berdiri di tengah-tengah pusat kota New York yang penuh dengan layar itu... yes, Times Square.
Setiap sudut kota New York adalah hal-hal terbaik yang pernah kulihat. Merupakan tugas yang sulit kalau aku diharuskan mengurut satu sampai sekian untuk hal-hal yang kusuka di New York.
Semua punya porsi dan kesan masing-masing di hati dan pikiranku.
Bukan hanya kemegahan gedung-gedung yang membuat ku terkesima.
Seorang polisi yang membentang sajadahnya di pinggir jalan dan menyempatkan sholat disela-sela waktu kerjanya berhasil membuatku berhenti sejenak, menepi, memuhasabahi diriku, di tengah hiruk pikuk kota ini, di tengah kebahagian akan rejeki dari Allah yang membuat aku bisa menginjakkan kaki di Amerika, aku pun menahan air mata kemudian berlalu, melanjutkan perjalanan ku.
Seorang wanita dengan hijab yang bekerja di salah satu toko kue paling terkenal di New York.
Petugas subway yang rela naik turun tangga 3 lantai hanya untuk memastikan bahwa kami bisa naik subway yang benar.
Orang-orang asing mengucap "Assalamualaikum."
Perjalanan ku sendiri mengitari New York dari Uptown hingga Dowtnown. 
Anjing-anjing lucu yang entah kenapa banyak melihat ke arahku.
Pedagang-pedagang dari yang ramah sampai yang tidak bisa bahasa inggris di Chinatown.
Orang-orang dengan kaos bertuliskan "Free Hugs" di Times Square.
Aroma kopi setiap pagi.
Halal food trucks.
Musisi-musisi jalanan yang gak kalah keren sama One Direction.
Toko-toko barang ber-merk; Victoria Secret, GAP, H&M..
Toko pizza di tengah kota yang tidak kami sangka memiliki pizza yang luar biasa enak dan murah. 
Perpustakaan. 
Subway. Subway yang kencang dan berada di bawah tanah. Di bawah gedung-gedung pencakar langit itu. 
Berbagai macam orang dengan pekerjaannya masing-masing, jalan terburu-buru. 
Turis yang sibuk foto-foto.
Youtuber yang sibuk buat vlog. 
FOTOGRAFER YANG JUDES.
Gemerlap lampu yang menyilaukan tapi tidak membuat kami enggan memandangnya. 
Berlapis kehidupan dengan warna berbeda. 

Begitulah New York membekas di hatiku. 
Aku akan kembali, aku akan kesana lagi. 
Secepatnya.
 

 How do you write a love letter to a place? To a time? To bittersweetness?