31 Januari 2018

Januari sudah akan berakhir. Aku seharian ini sibuk menyalahkan diriku atas apa-apa yang belum bisa kucapai di bulan pertama tahun ini. Seperti biasa, orang lain adalah pembandingnya.
Tumpukan hal-hal yang seharusnya sudah kuselesaikan tahun lalu juga masih sering kukesampingkan atau kuabaikan. Banyak waktuku habis untuk hal-hal yang sebenarnya tidak perlu-perlu amat kulakukan.
Lihatlah, kesibukan ku menyalahkan diri hari ini tidak berujung pada meningkatnya motivasi. Malah semakin malas, dan menjadikan keadaan kurang motivasi seperti ini sebagai pembenaran untuk bermain game berjam-jam. *sigh*

Bulan ini juga seperti kebalikan Januari tahun lalu.
Kalau tahun lalu aku memiliki banyak hal baru dan perasaan baru juga orang-orang baru,
Januari ini tenaga ku cukup banyak habis untuk mempertahankan apa-apa yang di tahun lalu sempat sengaja atau tanpa sengaja kuabaikan. Kata-kataku lebih banyak keluar untuk meyakinkan seseorang bahwa aku ingin dia tetap tinggal. Sehingga diamku seringkali menjadi jeda dari semua usahaku untuk menahan dia. Diamku seringkali adalah penyalahan dan penyesalan atas diriku yang terlalu lambat mengindera apa yang sebenarnya sangat berarti bagiku.

Januari yang bagi orang-orang adalah sebuah permulaan, bagiku terasa seperti sebuah akhir dari satu cerita yang tidak ingin kulihat. 

 How do you write a love letter to a place? To a time? To bittersweetness?