"Time and time again, people show us who they really are. They show us their true colours. Yet, bizarrely, we fail to acknowledge that, for our mind is engrossed with the idea of perceiving people as the people we want them to be. We fail to recognize their true colours because, on the canvas of our life, we view them in completely different hues. Hues that our eyes have been starved of their entire life. Hues that we’ve been longing to have on our canvas. We try to fit blank spaces with colours that’ll never fulfill the potential of turning it into a masterpiece, almost like a confusedly stubborn infant trying to fit a square into a star mould, since what we fail to comprehend is that people can never be what you want them to be, for just like us, they too have canvases of their own, which they’re busy embellishing with strokes made by the brushes of imagination and acumen, dipped by the hues of belief and hope from their palettes. We’re all looking for a specific hue. One that’ll distinguish and adorn our canvas with exquisiteness; however, we should realize that it’ll come to us at the right time to convert a mere painting into the masterpiece it’s meant to be. A hue that’ll remind us how adroit we are at what we do, and how every second of the patience has been worth it, as only by living the life of a starving artist, will we come to appreciate every brushstroke of the hue that redefines our canvas, our entire life, which will never be the same again."

Marapi Night

Malam itu, aku memutuskan untuk mengabaikan demam dan sakit tenggorokan yang kuhadapi untuk keluar malam dan bertemu Cara. Suaraku hampir hilang malam itu, tapi aku memutuskan untuk bertemu seseorang yang baru, orang asing, yang kemungkinan akan membuat aku harus berbicara banyak. Aku memang merasa cukup lelah hari itu, ditambah cuaca yang hujan seharian. Tapi tepat pukul 8 malam, aku sudah berada di depan Hoya. Aku melihat Cara yang baru aku lihat malam itu, dan 2 orang temanku yang sudah kukenal sebelumnya. Mereka sudah menunggu di dalam. Tidak, aku tidak terlambat, kami memang janji pukul 8. Mereka yang lebih cepat datang. Aku secara random memakai sweater merah marun dengan tulisan HARVARD malam itu. Saat aku menyapa Cara, aku merasa dia sedikit kaget melihat pakaianku, dan seperti orang-orang Amerika lainnya, dia memberi pujian dengan "Oh I love your sweater!". Setelah kami berbincang, aku kemudian mengetahui bahwa dia adalah lulusan Harvard. So random.

Malam itu, aku senang aku tidak memilih untuk tinggal di rumah dan selimutan. Aku bahagia berada diantara mereka. Berbicara. Tertawa. Demamku pergi sebentar, tenggorokanku pulih saat itu.
Above all, aku melihat betapa dua orang Amerika yang garis ceritanya bersinggungan denganku ini, adalah orang-orang yang mampu membuat aku takjub dengan percakapan-percakapan yang mereka bawa. Hal-hal yang mungkin sudah biasa mereka lakukan namun merupakan sebuah ketakutan bagiku.
Malam itu, Cara dan Jam tiba-tiba muncul dengan ide mendaki Marapi, salah satu gunung berapi yang masih aktif di Sumatera Barat. Aku meringis mengingat bahwa terakhir kali, aku mendengar cerita temanku yang mendaki saat merapi memuntahkan lavanya. Lava itu mengalir di depan matanya. Dia tidak apa-apa. Tapi tetap saja, hah, tidaklah.
Aku kira, Cara akan  berada di Padang selama seminggu. Ah iya, Cara sedang bekerja di Malaysia. Namun, ternyata dia akan balik hari Minggu. Which means, dia cuma di Padang untuk weekend-an.  Jumat-Sabtu-Minggu.
Lalu, kapan mau mendaki?
"RIGHT NOW!" seru Jam, membuat aku dan 1 orang temanku yang orang Indonesia juga tercengang.

Kalau dia bukan temanku, aku sudah berseru membalas dengan berkata "GILA".
Jam meminta persetujuan Cara. Dia mengangguk semangat.
Bahuku langsung meloyo. Dua bule ini benar-benar…
Aku dan Bang Vano menjelaskan apa-apa saja yang harus dipersiapkan sebelum mendaki.
"We need to go to Padang Panjang first, which takes 2 hours, and climb up for 6 hours. We don't have time."
"We will if we go right now. It's still 9, let's have snacks and coffee to go, we go to Padang Panjang at 10, and arrive at 12. We climb up, err, let's say we can make it 5 hours, we will be up there for sunrise!", meyakinkan saat Jam berbicara.
Easy to talk, easy.
Aku tidak tahu apakah memang orang Indonesia cenderung untuk memikirkan banyak hal sebelum ambil langkah, atau memang dua orang Amerika ini terlalu nekat.
Aku dan temanku sama-sama punya pemikiran bahwa naik gunung itu ribet dan gak bisa dianggap enteng. Those bules punya pemikiran: JUST DO IT!
Well, walau akhirnya kami gak jadi pergi, aku belajar beberapa hal dari kata-kata mereka, kayak:
"Nobody wrote the book "So I stayed at home instead.""
"My Dad told me this, "If you're not sure about something, just do it.""

Hahahah, kata-kata yang kedua ini benar-benar in contrary dengan gimana Mama ku mengajarkanku, "Kalo ragu, ya gak usah di lakukan, Nak.."

You grow up, you meet more people, you build conversations,

And YOU LEARN. 

 How do you write a love letter to a place? To a time? To bittersweetness?