Aku sedang menunggu tukang parkirnya memberi kembalian saat Papa menutup kaca mobil dan beranjak pergi.
"Loh, Pa. Kembaliannya belum?", kataku keheranan.
"Biar aja.."
"Parkirnya kan cuma 2000 Pa, itu tadi Papa kasih kebanyakan.."
"Gak apa-apa, Kak.."
Di malam itu, perjalanan pulang dari tempat les, Papa kembali bercerita tentang masa mudanya. Aku tahu bahwa Papa dulu sekolah sambil bekerja membiayai hidup di Medan, merantau dari Pasaman Barat sejak kelas 1 SMP.  Tapi cerita Papa biasanya sepotong-sepotong, sebagai pengantar kami tidur. Malam itu, Papa bercerita tentang salah satu pekerjaan yang pernah Papa lakukan dulu; tukang parkir.
"Dulu waktu Papa jadi tukang parkir, kalau ada yang lebihin uang parkirnya, Papa senaaaang kali, Kak. "
"Hmm, makanya Papa suka lebihin uang parkir buat tukang parkir ya?"
"Iya.. Gak ada salahnya kan Kak."
"Hmm, iya Pa.."

Cerita itu Papa kisahkan ketika awal-awal aku duduk di bangku SMP. Saat aku mulai diberi pengertian tentang perjuangan, bahwa hidup tidak selamanya nyaman. Sering cerita Papa membuat mata kami berkaca-kaca, kuat kami peluk Papa setelah bercerita, yang saat itu, entah sadar atau tidak kami seperti menunjukkan bahwa kami sangat bangga dengan Papa, bahwa kami ingin terus mendengar cerita Papa.
Tapi Papa pergi beberapa tahun setelahnya. Aku bahkan belum meninggalkan bangku SMP saat itu.
Kepergian Papa seolah memaksaku untuk mengumpulkan semua memori tentang Papa, semua cerita yang pernah diceritakan Papa, lalu tetap melanjutkan hidup dengan bekal itu.

Sudah 8 tahun kami tidak lagi bisa mendengar cerita Papa, tidak lagi bisa memeluk Papa, tidak lagi bisa melihat Papa memberi uang parkir berlebih, terutama jika petugas parkirnya adalah orang tua atau ibu-ibu.
Tapi cerita yang bisa diingat, berusaha aku ingat terus, dan jadikan tulisan agar tetap bisa kubaca jika aku lupa.
Kebiasaan Papa dulu, berusaha aku ikuti.
Papa, kalau dulu, ketika Papa kasih uang parkir berlebih, paling hanya anak Papa ini yang bertanya heran. Sekarang, aku terkadang bingung menyikapi tatapan bertanya teman atau orang yang melihat aku menolak kembalian parkir.
Papa, kami rindu. Tapi kami tetap simpan cerita Papa, kami coba ganti dengan doa untuk Papa. 

 How do you write a love letter to a place? To a time? To bittersweetness?