Australian Marriage Certificate

Adalah salah satu alasan terbesar kami memutuskan untuk nikah di Australia aja daripada di Indonesia atau Malaysia. 
Juga karena udah denger dari beberapa teman kalo nikah beda kewarganegaraan di Indonesia itu ngurusnya ribet. Hhhhh. 
Nikah di Australia itu, super gampang. Gak perlu minta keterangan ini itu kesana kemari. Cuma perlu menghubungi marriage celebrant yang bakal mengesahkan pernikahan, tanya apakah tanggal yang kita rencanakan sesuai sama jadwal dia, interview singkat untuk disuruh research apakah calon pasangan pernah menikah/belum, lalu kalau semua udah sesuai, tinggal dateng tepat waktu di hari H bawa identitas diri (kalau kami bawa paspor). Ntar berkas-berkas yang perlu diisi untuk daftar legalisasi marriage ke pemerintah, bakal diisi setelah ijab.

Dan untuk marriage celebrant, ada banyak pilihan juga. Kita tinggal google dan keluar deh tu pilihan jasa-jasa marriage celebrant. Karena kami mau nikah secara agama dan sipil, jadi harus cari marriage celebrant yang Muslim. Ntar dapet dua sertifikat, sertifikat nikah secara Islam, dan sertifikat nikah secara hukum Australia.

Ntar pas balik ke Indonesia, kalau mau daftarin pernikahan, dari info temen-temen lain, tinggal bawa marriage certificate dari Australia plus surat pengantar dari embassy disini. Gak perlu ngurus rempong-rempong. Tapi kemungkinan gak dapet buku nikah sih. Cuma surat keterangan yang menyatakan kalo pernikahan kami juga diakui di hukum pernikahan Indonesia. I don't really mind. Yang penting gak perlu harus berpanjang-panjang urusan dengan birokrasi Indonesia yang entah kenapa kayaknya punya jargon "Kalau bisa dipersulit, untuk apa dipermudah?". HAH

Backpacker Tapi Menikah

Nyerongin dikit dari tagline terkenal Teman Tapi Menikah. Ini karena kami sesama backpacker, jadinya begitu. Karena gak nyangka juga hubungan kami akan sampai sejauh ini. Sering ngelihat orang-orang yang ketemu di Australia dan jadi deket, terus pas mau ninggalin Australia, putus. 

"Yah namanya juga backpacker, cuma buat seneng-seneng sesaat aja.", katanya. 

Aku, yang menjadikan Australia sebagai sebuah pelarian dari patah hati, cuma pengen bisa sibuk sesibuk sibuknya agar supaya bisa lupa sama how I felt that time. 

But, he is just so wonderful and kind that ever since he talked to me the first time, I always wanted to hear his story, again and again. We ended up sharing more stories and thoughts than we ever anticipated. 

Sampai suatu hari dia nanya. "Orang Indonesia, kalau dating, serius tak? Nanti kamu balik Indonesia, kita tak de contact dah lah?", he is from Malaysia btw. 

I wasn't ready for that question nor a commitment by that time, so I just simply replied, "Kita lihat aja ya nanti, sekarang jalanin aja dulu."

I was just afraid that perasaanku saat itu semata-mata karena aku kesepian, bukan karena aku sudah siap untuk memulai sesuatu yang baru dengan dia. 

Dan ternyata "jalan" yang kita jalanin itu, membawa kita sampai di tahap ini. He is my husband now! 

Wkwkwkwkwk. Somehow, seseorang yang santai ngikutin air mengalir kayak dia, bisa compatible sama aku yang plan-freak. Dulu aku heran juga awalnya, kok bisa ya ada orang yang gak merencanakan setiap detail yang mau dia lakukan besok, minggu depan, sampe bulan depan? 

Tapi, sekarang aku ngerasa bersyukur bisa menikah sama seseorang yang walaupun sifat dan jalan berpikirnya banyak beda dari aku, tapi lebih banyak lagi hal yang buat aku ngerasa bahwa dia adalah a male version of myself

Diantara diskusi-diskusi dan kompromi kita tentang perbedaan, ada ruang untuk cinta bertumbuh. 

Terima kasih sudah duduk disebelahku saat sarapan pagi itu, membuatku melepas earphone dan mengalihkan pandanganku dari layar handphone, untuk mendengarkan suaramu dan memandang senyummu. 









 How do you write a love letter to a place? To a time? To bittersweetness?