Sebenarnya kalau dipikir-pikir, aku kurang memberontak saat di ruangan kurang lebih 3x6 meter kemarin itu. Setelah beberapa menit sebelum tidur tadi malam aku kembali mengingat berapa banyak waktu berhargaku terbuang sia-sia yang secara langsung maupun tidak langsung adalah karena mereka.
Yah, sebenarnya salahku juga. Aku ini hanya berani mengomel di belakang, berkoar-merepet-mengumpat hanya pada kawan sekamar. Lalu di depan mereka aku mungkin cuma bisa memasang tampang semasam mungkin. Membelalakkan mata sebesar mungkin. Mengerucutkan bibir sekerucut mungkin.
Supaya mereka tahu, aku tidak rela diperlakukan setidak adil ini. Aku punya hak untuk menentukan kemana seharusnya waktuku kuhabiskan, kemana seharusnya tenaga dan pikiranku kucurahkan.
Mungkin memang aku yang terlalu lemot. Sudah setahun dibeginikan, aku masih saja belum bisa mengambil nilai positif yang signifikan. Aku masih belum tahu apa tujuan mereka. Entahlah
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
How do you write a love letter to a place? To a time? To bittersweetness?
-
“Winni, saya buat dalgona pakai blender. Menjadi! Tak perlu penat-penat kacau pakai tangan.” Dulu waktu awal-awal dalgona viral, aku rajin b...
-
Ini masih tentang kuliah. Ada seorang teman yang sering memarahiku karena terlalu bodoh untuk tidak melawan ketika dihadapkan dengan situas...
-
Dulu waktu masih jadi maba a.k.a mahasiswa baru, kami diwajibin buat nyapa senior-senior. Me myself, agak males sih nyapa orang yang belum k...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar