How to Talk to a Stranger

Kemarin, aku akhirnya membuka channel TED Talk. Terakhir kali aku buka channel ini ketika masih di US tahun lalu. Woah, sekarang waktu di US udah terkategorikan "tahun lalu". So damn fast, isn't it?
Salah satu judul yang menarik perhatianku adalah "How to Start a Conversation."
Oke ini terdengar sepele. Apa sih susahnya buat mulai ngobrol? Tinggal bilang "Hai.", kalo dijawab alhamdulillah gak dijawab ya selesai.

Ya gak sesimpel itu, kalau di TED Talk ini.
It was a mind blowing talk. Seriously. Habis nonton itu, aku jadi langsung pengen nyari orang asing dan mraktekin apa yang barusan kutonton, tapi gak jadi ding. Soalnya aku nonton video itu malam-malam di rumah. Hahaha.
Tapi, hari ini, aku benar-benar dapat kesempatan untuk ngobrol sama a stranger. Perfectly a stranger!
Di American Corner.

Aku lagi duduk sambil browsing di ruang multimedia. Ruang multimedia ini kayak ruang kelas gitu, tertutup dan cuma dipake kalo ada kegiatan mengajar atau English Club. Karena siang ini lagi kosong, aku duduk disitu. Pintunya kututup. Tiba-tiba, ada yang nongolin kepalanya. Aku mengalihkan kepalaku sebentar dari layar laptop.
"Eng... Ada yang bisa dibantu?"
Dia kemudian nyelonong masuk dan duduk di depanku.


Aku bingung. Kaget juga.
Tapi aku coba buat biasa aja, dan lanjut ngerjain kerjaan ku di laptop. Mungkin dia cuma pengen numpang duduk dan nyari tempat senyap buat fokus.
"Ibu dosen disini?", dia buka pembicaraan.
GUBRAK.

Wajahku langsung berubah ke wajah siap nerkam.
"ENAK AJA LU BILANG GUE IBUK-IBUK."- ini kataku dalam hati.
"Bukan, saya mahasiswa, volunteer disini."-ini yang keluar dari mulutku.
"Ooh, angkatan berapa?"
"2013." jawabku, sedikit ketus. Aku sedang lumayan sibuk dengan laptopku. Plis jangan ngerusuh.
Dia kemudian mulai nanya-nanya hal umum yang biasanya ditanyain pengunjung kalo pertama kali ke AMCOR. Kayak,
"Buku-buku disini bisa dipinjam, Kak?"
"Ada les bahasa inggris gratis gak?"

"English Club itu apa?"
"Gimana cara jadi volunteer?"
"Ada bule gak disini?"


Hah.
Aku jawabin pertanyaan-pertanyaan umum itu dengan gak niat. Aku ngomong sambil tetep ngetik di laptop ku. Padahal, aku bukan multi-tasker. Yang kuketik di laptop bolak-balik cuma google.com-enter.
Errrr, peka dikit ngapa. Sibuk nih.
Tapi, dia tetep ngomong.
Sampai dia ngebahas sesuatu, dan mulai ngedapatin perhatianku.
Dia bilang:
"Kakak pengen kuliah di negara apa?"
Aku diam.

Lalu, tanpa bermaksud sombong, aku menceritakan bahwa aku cuti semester lalu untuk kuliah ke luar negeri.
Dia langsung bilang "Oh ya??"-dengan antusias.
Aku kira, antusiasnya dia sama "kuliah ke luar negerinya", tapi ternyata, sama "cuti"nya.
"Saya juga cuti loh kak semester lalu. Tapi karena sakit."
"Ooh."-aku sedang tidak ingin kepo.

Tapi, dia pandai sekali untuk berbicara, dan akhirnya, kami ngobrol hampir 1,5 jam, terputus karena aku ada kelas.
Dia ternyata angkatan 2014, kuliah di salah satu jurusan di Fakultas Ekonomi.
Cerita-cerita dia mulai menggerakkan tanganku menjauh dari keyboard laptop, kemudian sampai laptop ku ter-sleep otomatis, dan akhirnya aku menutup laptop ku, aku fokus dengan apa yang dia bicarakan.
Aku benar-benar malu dengan diriku beberapa menit yang lalu. Untung saja dia "berhasil" menarik perhatian ku untuk kemudian mendengar cerita dia dengan seksama. Kalau saja aku tetap bersikap skeptis dan tidak ingin tahu, tidak ingin berbicara dengan orang asing ini, padahal beberapa hari lalu pikiranku terpacu untuk mempraktekan TED Talk yang baru kutonton.
Hah, memalukan sekali.
Tidak peka lebih cepat akan suatu pelajaran berharga yang akan kudapat dari orang asing ini. Aku yang berkata padanya bahwa aku sudah entah berapa kali jatuh, malu, gagal, dan hampir menyerah sebelum mendapatkan apa yang kuinginkan, dan dia yang kemudian menceritakan perjuangan dia yang JAUH lebih berat dariku. Aku hanya berjuang melawan rasa malasku, rasa maluku, dan rasa ingin menyerahku.
Tapi dia berjuang melawan maut. Melawan ketidak beruntungan yang menimpanya berturut-turut.
"Hidup terlalu tidak adil kemarin itu, Kak." katanya. Dia memaksa dirinya tertawa kecil.
Aku banyak diam dan merenung, betapa seseorang yang tegar dan luar biasa orang asing yang sedang memberi aku pelajaran hidup ini.
Dia sesekali menanyakan bagaimana hal-hal di Amerika, aku mencoba menceritakan hal-hal yang lucu saja. Hal-hal yang mudah-mudahan membuat dia lebih semangat untuk mencari jalannya kesana.

Aku tidak tahu berapa umurmu, mungkin kita seumuran.
Tapi karena kau memanggilku kakak, aku ingin berbagi sedikit yang mungkin tidak sempat kuutarakan dengan baik tadi.

Dik, jangan pernah putus asa. Jika hal-hal dalam hidup terlihat semakin sulit dan menyesakkan, coba bertahan dulu barang sehari. Siapa tahu, besok pagi hal-hal akan menjadi lebih baik.
Ah, tapi kamu sangat tegar. Mampu melewati sebegitu banyak rintangan, cobaan, ujian, namun berhasil bangkit.
Kamu mungkin kehilangan beberapa ingatan tentang hari lalu akibat terlalu tertekan dengan apa menimpamu, tapi semoga, akan banyak ingatan-ingatan baik yang akan masuk ke hidupmu esok.

Jangan patah semangat, you'll never know what tomorrow will bring.


Kita bahkan tidak sempat memperkenalkan nama masing-masing, ya. Hahaha. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 How do you write a love letter to a place? To a time? To bittersweetness?