Mengobati Luka (2)

"Sabar. Aku tahu rasanya ada di posisi seperti itu. Cepat-cepatlah sembuh, biar kita gak tertinggal sama yang lain. Aku yakin kamu bijak, bisa menaruh sedih pada tempatnya. Coba menata suasana dengan pergi ke tempat lain. Sendirian. Dan melakukan sholat lebih tepat waktu serta ditambah sholat yang lainnya. Rasanya aman sekali."

"Mungkin sekarang rasa sedihku adalah karena aku sedikit menyesal tidak mencoba mengubah sifat burukku lebih awal, aku seharusnya berjuang lebih kuat. Aku bertujuan untuk serius dengannya, karena itu aku menunjukkan sifat asliku, yang mungkin tidak kutunjukkan ke orang lain. Besar sekali harapku bahwa dia akan menerimaku."

"Pilihan kamu untuk jujur dan menunjukkan apa adanya sudah yang terbaik menurutku, kalau kita sudah jujur dan dia tidak bisa terima, ya sudah. Kita sudah coba perbaiki tapi dia nyerah berarti dia nggak mau bekerja sama dalam urusan mencintai. Cinta adalah pekerjaan yang harus dilakukan dua orang. Kalau toh dia memang cinta betul, dia pasti gak akan nyerah."

"....."

"Aku mengerti, kamu pasti sedih sekali. Kamu nangis aja dulu sendirian, nangis yang puas. Nanti selesai itu luangkan waktu buat diri kamu. Dengar lagu kesukaan, lakukan hal yang kamu suka, yang bisa buat kamu bahagia, Pergi ke tempat baru, coba menata hati lagi. Eh tapi catatan dariku yang sudah pernah merasakan patah hati, aku sudah mengunjungi banyak tempat dari kota sampai pelosok, tapi kadang masih keingat. Sampai pada akhirnya aku memilih untuk benar-benar sembuh baru bisa ikhlas. 
Semangat ya. "

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 How do you write a love letter to a place? To a time? To bittersweetness?