PART 7 - PERSIAPAN

Yeay!
Alhamdulillah, e-mail dari Washington DC kemaren buat bahagia. Tapi ini baru awal, karena sebelum  benar-benar memulai petualangan ini, ada segudang hal yang harus diurus.
Mulai dari tes kesehatan, berkas-berkas perjalanan seperti Visa, DS-2019, terus urusan di kampus seperti BSS, dokumen-dokumen untuk kampus di US. Oh iya, aku ditempatkan di Tennessee Tech University, Cookeville, Tennessee. 
Semuanya harus dilakukan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
Ditambah lagi, aku KKN.
Tapi untungnya lokasi KKN ku di Solok, jadi aku bisa bolak-balik Padang-Solok kalau ada urusan mendadak.
Meski bisa bolak-balik, itu bukan menjadi pilihan. Aku memilih untuk mengurus semuanya secepat mungkin. Setelah selesai UAS dan praktikum dan segala urusan semester ini, aku langsung melengkapi medical form yang ribet bin riweuh. Aku hampir tiap hari ke rumah sakit selama 2 minggu untuk check up sana check up sini.
Aku bahkan hampir hapal setiap sudut rumah sakit M Djamil.  Gimana enggak, aku pernah nyasar ke bangunan tua yang lagi direnovasi dan bangsal kamar jenazah. Sendiri. Nyari klinik audiometri yang ngumpet dibalik ruang rawat inap bersama atau apalah itu namanya. Pokoknya, aku milik RSUP M Djamil selama 2 minggu ini.

Bahkan ketika pagi itu gempa, gempa yang lumayan keras, dan aku ada janji dengan dokter obgyn jam 8 pagi, aku galau antara datang dan tidak. Aku takut kalau-kalau ada gempa susulan. RS nya berada gak terlalu jauh dari pantai. Tapi aku memutuskan untuk datang. Aku menyaksikan beberapa pasien masih berada di luar, dengan tempat tidurnya. Beberapa keramik di dinding pecah dan jatuh ke lantai. Dinding klinik yang kemarin kulihat masih bersih, sekarang sudah  retak sana-sini. Disebelahku, ada ibu-ibu hamil yang mau periksa kandungannya karena shock akibat gempa pagi itu. Perjuangan melengkapi medical form gak berhenti sampai insiden gempa itu saja. Aku harus tetap bolak-balik rumah sakit bahkan ketika bulan puasa. Puasa pertama aku vaksin DPT. Belum hilang pegel dan kebas karena vaksin DPT, besoknya tes mantox. Setalah itu ambil darah. Besoknya vaksin Hepatitis B. Untung saja MMR lagi out of stock, jadinya aku punya waktu bernafas dari jarum-jarum itu.

Sebelum berangkat ke US, kami juga wajib mengikuti kursus online yang diadain sama World Learning. Jadi, setiap minggu ada 1 tugas yang harus diselesaikan. Kelas online ini berbentuk ruang diskusi. Kita bisa menulis sesuatu yang berhubungan dengan topik yang diberi, lalu orang lain bisa memberikan komentar. Selain diskusi, di kursus online ini kami juga membuat resume dan essay tentang apa saja tujuan-tujuan yang ingin kami capai selama program pertukaran ini. Aku langganan telat submit tugas, soalnya lagi KKN, dan sinyal internet di lokasi KKN kadang baik kadang enggak.

Untuk syarat visa, kami harus foto dengan latar belakang putih. Dan di guideline yang dikirim, dibilang kalo fotonya harus nampak telinga. Aku dan 2 UGRADErs lainnya yang pake jilbab bingung. Aku dapat info bahwa prosedur visa US ini ketat, susah, dan untung-untungan. Akhirnya kami tanya pihak AMINEF terkait ini, dan mereka bilang, that would be okay if we use hijab properly, tanpa perlu nampakin telinga. But, wajahnya harus jelas kelihatan, alisnya harus nampak seluruhnya. Berakhirlah muka kami kayak donat. Bulat maksimal. Aku dan Rizka (UGRADer dari Pekanbaru), pergi ke studio foto di hari yang sama. Rizka mengirimkan selfie muka bulatnya, aku ketawa sampe sakit perut (Maaf ka, hehe). Tapi, mukaku juga gak lebih bagus. Foto visaku adalah salah satu foto paling memalukan. Foto yang dengan seluruh tenaga ku akan kusembunyikan sebisa mungkin.
Selesai melengkapi berkas-berkas online visa, kami  tinggal menunggu keberangkatan ke Jakarta untuk Pre-Departure Orientation (PDO) dan Visa Interview. Di PDO kali ini, alumni program yang diundang adalah Vini (Padang), dan Alvin (Lampung). Mereka ngasih BUANYAK informasi terkait sebelum keberangkatan dan kehidupan di Amerika. Duh, nengok kami yang antusias mau berangkat, pasti mereka rindu waktu mereka juga lagi persiapan gini :')
PDO hari pertama cuma sampai jam 12, setelah itu kami langsung ke US Embassy untuk wawancara Visa.
Untuk masuk ke US Embassy ini, agak rempong. Security check nya ketat. No phone, no camera, no electronic devices. Alan (UGRADer dari Bengkulu), bawa susu kotak di tasnya, padahal tas itu mau ditinggal di locker, gak bakalan dibawa masuk. Tapi mbak-mbak securitynya bilang: minum, atau buang.
Alan akhirnya minum susu kotak sekali teguk. Kenyang kali pasti ya, Lan. Soalnya kami baru aja makan siang sebelum kesini. Wkwk.
Didalam, sistem wawancaranya gak seperti yang kubayangkan. Gak ada kursi, gak ada ruangan tertutup, gak ada panelis dengan tatapan tajam. Wawancaranya cuma dilakukan di loket gitu. Kayak kita mau beli karcis kereta api.
Bersama kami, ada juga mahasiswa-mahasiswa S2 penerima beasiswa dari Fulbright Foundation dan USAID. Disini kondisi untung-untungan bisa terjadi (well, gak ada yang namanya kebetulan sih, semua sudah ditakdirkan, I know it). Jadi, ada 2 loket untuk wawancara yang buka, satu loket, cepat sekali prosesnya, loket yang lain, lama. 1 : 3 kecepatannya. Dan aku ditakdirkan untuk berdiri di loket yang prosesnya lama. Benar saja, saat aku masih di wawancara, 3 UGRADers lainnya sudah selesai. Dalam waktu yang sama. But, anyway, I made it! Visa ku disutujui! ONE BIG STEP CLOSER!

Waktunya packing!

Untuk koper, aku cuma bawa 2 koper ukuran sedang. Dengan berat yang gak berat berat kali. Aku mempertimbangkan  baggage allowance penerbangan domestik dari Padang-Jakarta. Kalau penerbangan internasional, lebih bisa bawa banyak. Gimana aku mempersiapkan hidup selama 4 bulan dalam 2 koper?
Bala bantuan datang dari Medan : MAMAK!
Mama datang ke Padang 2 minggu sebelum aku berangkat. We prepared everything together.
Apa aja di dalam koperku?
Pakaian, sepatu, selop jepit, dan saos sambal ekstra pedas.  Oh iya, bon cabe juga. Karena gak ada timbangan beras, kami cuma mengira-ngira dan berharap agar kedua koper ini beratnya gak lebih dari 20 kg.
Walaupun gagal. Koper-koperku beratnya 22,5 Kg.
Tapi alhamdulillah, abang-abang airline staff nya gak nyuruh aku bayar untuk kelebihan 2,5 kg ini. HAHA.
Di hari keberangkatan ke Jakarta, aku diantar sama Mama, Om, dan sepupuku. Mama nungguin sampe aku benar-benar naik pesawat. Aku gak pengen nangis. Enggak. Aku senang dan semangat untuk memulai 1 semester yang mungkin cuma bisa kudapatkan sekali seumur hidup ini. Aku juga sudah terbiasa hidup jauh dari Mama (Mama di Medan, aku di Padang). Iya, tapi aku sadar. Kali ini berbeda. Aku akan pergi sejauh separuh bumi dari rumahku. Untuk menemukan rumah baru. Melewati berbagai zona waktu, yang akhirnya akan menempatkan ku di daerah yang waktunya ketinggalan 12 jam dari Indonesia. Entah itu aku, atau keluarga dan teman-temanku di Indonesia yang harus bangun lebih pagi atau tidur lebih lama, agar kami bisa telfonan tanpa mengganggu aktifitas satu sama lain.

Perjalananku benar-benar akan dimulai, saat pesawat yang membawaku ke Jakarta pagi itu, melaju dengan kencang dan mulai terbang meninggalkan tanah Padang.

Jum'at, 12 Agustus 2016.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 How do you write a love letter to a place? To a time? To bittersweetness?