Yeay!
Alhamdulillah,
e-mail dari Washington DC kemaren buat bahagia. Tapi ini baru awal, karena
sebelum benar-benar memulai petualangan
ini, ada segudang hal yang harus diurus.
Mulai dari tes
kesehatan, berkas-berkas perjalanan seperti Visa, DS-2019, terus urusan di
kampus seperti BSS, dokumen-dokumen untuk kampus di US. Oh iya, aku ditempatkan
di Tennessee Tech University, Cookeville, Tennessee.
Semuanya harus
dilakukan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
Ditambah lagi, aku
KKN.
Tapi untungnya
lokasi KKN ku di Solok, jadi aku bisa bolak-balik Padang-Solok kalau ada urusan
mendadak.
Meski bisa
bolak-balik, itu bukan menjadi pilihan. Aku memilih untuk mengurus semuanya
secepat mungkin. Setelah selesai UAS dan praktikum dan segala urusan semester
ini, aku langsung melengkapi medical form yang ribet bin riweuh. Aku hampir
tiap hari ke rumah sakit selama 2 minggu untuk check up sana check up sini.
Aku bahkan hampir
hapal setiap sudut rumah sakit M Djamil.
Gimana enggak, aku pernah nyasar ke bangunan tua yang lagi direnovasi
dan bangsal kamar jenazah. Sendiri. Nyari klinik audiometri yang ngumpet
dibalik ruang rawat inap bersama atau apalah itu namanya. Pokoknya, aku milik
RSUP M Djamil selama 2 minggu ini.
Bahkan ketika pagi itu gempa, gempa yang lumayan keras, dan aku ada janji dengan dokter obgyn jam 8 pagi, aku galau antara datang dan tidak. Aku takut kalau-kalau ada gempa susulan. RS nya berada gak terlalu jauh dari pantai. Tapi aku memutuskan untuk datang. Aku menyaksikan beberapa pasien masih berada di luar, dengan tempat tidurnya. Beberapa keramik di dinding pecah dan jatuh ke lantai. Dinding klinik yang kemarin kulihat masih bersih, sekarang sudah retak sana-sini. Disebelahku, ada ibu-ibu hamil yang mau periksa kandungannya karena shock akibat gempa pagi itu. Perjuangan melengkapi medical form gak berhenti sampai insiden gempa itu saja. Aku harus tetap bolak-balik rumah sakit bahkan ketika bulan puasa. Puasa pertama aku vaksin DPT. Belum hilang pegel dan kebas karena vaksin DPT, besoknya tes mantox. Setalah itu ambil darah. Besoknya vaksin Hepatitis B. Untung saja MMR lagi out of stock, jadinya aku punya waktu bernafas dari jarum-jarum itu.
Sebelum berangkat ke
US, kami juga wajib mengikuti kursus online yang diadain sama World Learning.
Jadi, setiap minggu ada 1 tugas yang harus diselesaikan. Kelas online ini
berbentuk ruang diskusi. Kita bisa menulis sesuatu yang berhubungan dengan
topik yang diberi, lalu orang lain bisa memberikan komentar. Selain diskusi, di
kursus online ini kami juga membuat resume dan essay tentang apa saja
tujuan-tujuan yang ingin kami capai selama program pertukaran ini. Aku
langganan telat submit tugas, soalnya lagi KKN, dan sinyal internet di lokasi
KKN kadang baik kadang enggak.
Untuk syarat visa,
kami harus foto dengan latar belakang putih. Dan di guideline yang dikirim,
dibilang kalo fotonya harus nampak telinga. Aku dan 2 UGRADErs lainnya yang
pake jilbab bingung. Aku dapat info bahwa prosedur visa US ini ketat, susah,
dan untung-untungan. Akhirnya kami tanya pihak AMINEF terkait ini, dan mereka
bilang, that would be okay if we use hijab properly, tanpa perlu nampakin
telinga. But, wajahnya harus jelas kelihatan, alisnya harus nampak seluruhnya.
Berakhirlah muka kami kayak donat. Bulat maksimal. Aku dan Rizka (UGRADer dari
Pekanbaru), pergi ke studio foto di hari yang sama. Rizka mengirimkan selfie
muka bulatnya, aku ketawa sampe sakit perut (Maaf ka, hehe). Tapi, mukaku juga
gak lebih bagus. Foto visaku adalah
salah satu foto paling memalukan. Foto yang dengan seluruh tenaga ku akan
kusembunyikan sebisa mungkin.
Selesai melengkapi
berkas-berkas online visa, kami tinggal
menunggu keberangkatan ke Jakarta untuk Pre-Departure Orientation (PDO) dan
Visa Interview. Di PDO kali ini,
alumni program yang diundang adalah Vini (Padang), dan Alvin (Lampung). Mereka ngasih
BUANYAK informasi terkait sebelum keberangkatan dan kehidupan di Amerika. Duh,
nengok kami yang antusias mau berangkat, pasti mereka rindu waktu mereka juga
lagi persiapan gini :')
PDO hari pertama cuma sampai jam 12, setelah itu kami langsung ke US Embassy untuk wawancara
Visa.
Untuk masuk ke US
Embassy ini, agak rempong. Security check nya ketat. No phone, no camera, no
electronic devices. Alan (UGRADer dari
Bengkulu), bawa susu kotak di tasnya, padahal tas itu mau ditinggal di locker,
gak bakalan dibawa masuk. Tapi mbak-mbak securitynya bilang: minum, atau buang.
Alan akhirnya minum
susu kotak sekali teguk. Kenyang kali pasti ya, Lan. Soalnya kami baru aja
makan siang sebelum kesini. Wkwk.
Didalam, sistem
wawancaranya gak seperti yang kubayangkan. Gak ada kursi, gak ada ruangan
tertutup, gak ada panelis dengan tatapan tajam. Wawancaranya cuma dilakukan di
loket gitu. Kayak kita mau beli karcis kereta api.
Bersama kami, ada
juga mahasiswa-mahasiswa S2 penerima beasiswa dari Fulbright Foundation dan
USAID. Disini kondisi
untung-untungan bisa terjadi (well, gak ada yang namanya kebetulan sih, semua
sudah ditakdirkan, I know it). Jadi, ada 2 loket untuk wawancara yang buka,
satu loket, cepat sekali prosesnya, loket yang lain, lama. 1 : 3 kecepatannya.
Dan aku ditakdirkan untuk berdiri di loket yang prosesnya lama. Benar saja, saat aku
masih di wawancara, 3 UGRADers lainnya sudah selesai. Dalam waktu yang sama. But, anyway, I made
it! Visa ku disutujui! ONE BIG STEP CLOSER!
Waktunya packing!
Untuk koper, aku cuma bawa 2 koper ukuran sedang. Dengan berat yang gak berat berat kali. Aku
mempertimbangkan baggage allowance
penerbangan domestik dari Padang-Jakarta. Kalau penerbangan internasional,
lebih bisa bawa banyak. Gimana aku
mempersiapkan hidup selama 4 bulan dalam 2 koper?
Bala bantuan datang
dari Medan : MAMAK!
Mama datang ke
Padang 2 minggu sebelum aku berangkat. We prepared everything together.
Apa aja di dalam
koperku?
Pakaian, sepatu,
selop jepit, dan saos sambal ekstra pedas.
Oh iya, bon cabe juga. Karena gak ada
timbangan beras, kami cuma mengira-ngira dan berharap agar kedua koper ini
beratnya gak lebih dari 20 kg.
Walaupun gagal.
Koper-koperku beratnya 22,5 Kg.
Tapi alhamdulillah,
abang-abang airline staff nya gak nyuruh aku bayar untuk kelebihan 2,5 kg ini.
HAHA.
Di hari
keberangkatan ke Jakarta, aku diantar sama Mama, Om, dan sepupuku. Mama nungguin sampe
aku benar-benar naik pesawat. Aku gak pengen nangis. Enggak. Aku senang
dan semangat untuk memulai 1 semester yang mungkin cuma bisa kudapatkan sekali
seumur hidup ini. Aku juga sudah terbiasa hidup jauh dari Mama (Mama di Medan,
aku di Padang). Iya, tapi aku sadar.
Kali ini berbeda. Aku akan pergi sejauh separuh bumi dari rumahku. Untuk
menemukan rumah baru. Melewati berbagai zona waktu, yang akhirnya akan
menempatkan ku di daerah yang waktunya ketinggalan 12 jam dari Indonesia. Entah
itu aku, atau keluarga dan teman-temanku di Indonesia yang harus bangun lebih
pagi atau tidur lebih lama, agar kami bisa telfonan tanpa mengganggu aktifitas
satu sama lain.
Perjalananku
benar-benar akan dimulai, saat pesawat yang membawaku ke Jakarta pagi itu,
melaju dengan kencang dan mulai terbang meninggalkan tanah Padang.
Jum'at, 12 Agustus
2016.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar