PART 8 - THE DAY

Aku memandangi langit Jakarta yang mendung hari ini, dari sudut kamar hotel yang menghadap ke jendela besar.
Hujan. Mendung.
Disebelahku, kuletakkan dokumen-dokumen perjalanan seperti passport dan tiket.
Aku bergidik mengingat bahwa waktu cepat sekali berlalu.
Sepertinya, baru kemarin aku membaca e-mail undangan wawancara dari AMINEF, saat itu bahkan aku masih terlalu takut untuk menaruh harap pada beasiswa ini. Aku sudah hampir menyerah untuk memperjuangkan ceklis pada list "KELUAR NEGERI SEBELUM TAMAT S1".
Namun, Allah memang selalu punya rencana terbaik. Bahkan dengan cara yang tidak pernah terbayangkan.
It was months, then weeks, then days, and now, it's just hours before my departure.
Koperku masih berserak, aku belum mandi, belum beres-beres, jam sudah menunjukkan pukul 12.30.
Aku tidak tau apa yang salah, aku hanya merasa, sendu.
Cuaca diluar pun mendukung.
Tiba-tiba telepon kamar berdering.
"Halo Ibu, Ibu lanjut hari ini?"
"Tidak, Pak."
"Kalau begitu, paling lama jam 1 ya, Bu."
"Baik, Pak."
Aku langsung bergegas.
Setengah jam kemudian, aku beserta 2 orang temanku yang juga berangkat hari ini sudah berada di lobby.
Kami juga bertemu dengan 4 penerima beasiswa Fulbright.
Entahlah, aku melihat seluruh ekspresi di wajah-wajah mereka hari ini.
Namun, aku menyimpulkan 1 untukku: sendu.
Aku tidak pernah merasa seperti ini sebelumnya.
Bahkan tidak ketika aku akan meninggalkan Medan untuk kuliah di Padang.
Aku tahu, kali ini berbeda.
Aku tidak mau berlama-lama dalam sendu, tapi aku juga tidak mau memaksa diriku untuk bahagia, sementara aku butuh untuk bersedih.
Bukankah sedih itu akan ada ketika kita meninggalkan sesuatu?
Bukankah cemas itu akan ada ketika kita akan pergi jauh?
20 jam dalam pesawat, beberapa jam berhenti di tempat asing, bukan perkara mudah untukku. Terlebih, aku akan terbang sendiri. Maksudku, tidak benar-benar sendiri di dalam pesawat. Tentu aku bersama ratusan penumpang lainnya, tapi, tidak satupun yang kukenal akan bersamaku di perjalanan panjang ini.
Aku akan berjuang sendiri untuk tidak merasa bosan dipesawat, aku akan berjalan sendiri dan mencari gate untuk pesawat selanjutnya.
Aku akan berjuang, berjalan, mencari sendiri.

Di perjalanan ke bandara, aku hanya memandangi kota Jakarta yang masih dinaungi awan mendung dengan gerimis. Aku akan punya waktu beberapa jam di bandara sebelum take off.
Aku memikirkan beberapa cara supaya tidak bosan, aku ingin menelepon Mama dan teman-temanku.
Tapi, entah kenapa, itu tidak membuat senduku hilang sedikitpun.
Aku tidak pernah merasa sesedih ini di bandara.

Minggu, 14 Agustus 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 How do you write a love letter to a place? To a time? To bittersweetness?