Aku memandangi
langit Jakarta yang mendung hari ini, dari sudut kamar hotel yang menghadap ke
jendela besar.
Hujan. Mendung.
Disebelahku,
kuletakkan dokumen-dokumen perjalanan seperti passport dan tiket.
Aku bergidik
mengingat bahwa waktu cepat sekali berlalu.
Sepertinya, baru
kemarin aku membaca e-mail undangan wawancara dari AMINEF, saat itu bahkan aku
masih terlalu takut untuk menaruh harap pada beasiswa ini. Aku sudah hampir
menyerah untuk memperjuangkan ceklis pada list "KELUAR NEGERI SEBELUM
TAMAT S1".
Namun, Allah memang
selalu punya rencana terbaik. Bahkan dengan cara yang tidak pernah
terbayangkan.
It was months, then
weeks, then days, and now, it's just hours before my departure.
Koperku masih
berserak, aku belum mandi, belum beres-beres, jam sudah menunjukkan pukul
12.30.
Tiba-tiba telepon
kamar berdering.
"Halo Ibu, Ibu
lanjut hari ini?"
"Tidak,
Pak."
"Kalau begitu,
paling lama jam 1 ya, Bu."
"Baik,
Pak."
Aku langsung
bergegas.
Setengah jam
kemudian, aku beserta 2 orang temanku yang juga berangkat hari ini sudah berada
di lobby.
Kami juga bertemu
dengan 4 penerima beasiswa Fulbright.
Entahlah, aku
melihat seluruh ekspresi di wajah-wajah mereka hari ini.
Namun, aku
menyimpulkan 1 untukku: sendu.
Aku tidak pernah
merasa seperti ini sebelumnya.
Bahkan tidak ketika
aku akan meninggalkan Medan untuk kuliah di Padang.
Aku tahu, kali ini
berbeda.
Aku tidak mau
berlama-lama dalam sendu, tapi aku juga tidak mau memaksa diriku untuk bahagia,
sementara aku butuh untuk bersedih.
Bukankah sedih itu
akan ada ketika kita meninggalkan sesuatu?
Bukankah cemas itu
akan ada ketika kita akan pergi jauh?
20 jam dalam
pesawat, beberapa jam berhenti di tempat asing, bukan perkara mudah untukku.
Terlebih, aku akan terbang sendiri. Maksudku, tidak benar-benar sendiri di
dalam pesawat. Tentu aku bersama ratusan penumpang lainnya, tapi, tidak satupun
yang kukenal akan bersamaku di perjalanan panjang ini.
Aku akan berjuang
sendiri untuk tidak merasa bosan dipesawat, aku akan berjalan sendiri dan
mencari gate untuk pesawat selanjutnya.
Aku akan berjuang,
berjalan, mencari sendiri.
Di perjalanan ke
bandara, aku hanya memandangi kota Jakarta yang masih dinaungi awan mendung
dengan gerimis. Aku akan punya waktu beberapa jam di bandara sebelum take off.
Aku memikirkan
beberapa cara supaya tidak bosan, aku ingin menelepon Mama dan teman-temanku.
Tapi, entah kenapa,
itu tidak membuat senduku hilang sedikitpun.
Aku tidak pernah
merasa sesedih ini di bandara.
Minggu, 14 Agustus
2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar