PART 2- 10 Panggilan Tak Terjawab

Kelas hari ini baru mulai, tapi dosen kami sudah keluar lagi dari kelas. Meninggalkan mahasiswanya kembali tenggelam dengan bahagia masing-masing (baca: main hape, baca majalah, transfer informasi a.k.a nggosip, dan tidur).
Aku sedang tidak mood ngapa-ngapain, bahkan tidur sekalipun. Padahal aku cuma tidur 2 jam tadi malam.
Kukeluarkan gadget,  sambung wifi, scroll instagram. Bosan. Ketika ada yang menyebut namaku dari tempat dimana tasku berada.
"Win, hp bunyi."
Aku bergegas mengecek HP ku yang satu lagi di tas.
10 panggilan tidak terjawab: Mamak.
Biasanya mamak nelpon sampe sebanyak ini kalau aku gak bisa dihubungin sampe maghrib. Tapi ini baru siang. Dan tadi pagi aku udah nelpon.
Ternyata, Mamak bawa kabar baik.
Mamak bilang
"Kak, kakak daftar apa itu? Katanya kakak mau di interview ke Jakarta. Coba kakak buka e-mail kakak."
"HAH?? MASAK MAAAK?" SERIUS MAK?"
"Iya, bukalah e-mail kakak. Mama kurang jelas juga tadi, suara mbak-mbaknya kecil kali."

Aku langsung buka laptop dan cek email.
DAAN YAK! AKU GAK MEMPERHATIKAN EMAIL KEMARIN. PADAHAL TADI PAGI AKU BUKA EMAIL.
Sebaris email dengan tanda seru (mengindikasikan e-mail penting) dan ada tulisan IMPORTANT di subjeknya. E-mail yang berisi undangan interview beasiswa Global UGRAD ke Jakarta.
Aku melongo selama beberapa detik sangking bahagia, bingung, dan gak tau mau ngapain-nya.
Hal pertama yang aku lakukan setelah sadar dari melongo adalah...nengok ke langit dan bergumam, Ya Allah, inikah jalannya?
Aku langsung menghubungi Mamaku, dan memberitahu apa yang terjadi.
Aku memang gak memberitahu Mama ketika mendaftar beasiswa ini. Tapi karena sekarang Mama udah tahu, aku harus menjelaskannya dengan baik supaya diberi izin.
Alhamdulillah, Nikmat Allah yang mana lagi yang engkau dustai? Mama mengizinkan.
Ya, walau mungkin ada ragu terbersit di hati Mama. Tapi aku bilang, bahwa ini baru tahap awal (yang memang merupakan tahap paling menentukan). Bisa saja aku gak lulus tahap ini. Aku mengatakan hal tersebut agar Mama tidak berpikir terlalu jauh dulu, walau memang, Amerika itu jauh. Semua akomodasi ke Jakarta ditanggung pihak AMINEF (American Indonesian Exchange Foundation), tiket pesawat pulang pergi dan uang untuk nginap 1 malam. Penginapan gak ditentukan sih, kita yang nyari sendiri. Aku belum pernah ke Jakarta sebelumnya. So, aku ngerasa agak nervous dan takut. Takut kesasar.

Aku akan berangkat satu minggu setelah e-mail pemberitahuan ini. Selasa depan. Interview nya hari Rabu pagi. Bingung harus gimana, aku menghubingi Vini, temanku yang udah jadi penerima beasiswa ini, dia sekarang lagi di Amerika menjalani program. Banyak hal yang aku gak tau harus gimana, gimana ke tempat interview, gimana cari tempat nginap, bahkan aku juga mikirin gimana cara keluar dari bandara Soetta. I've never been anywhere except Padang and Medan, btw. Dan aku takut panik. Takut kena culik. Takut semuanya. Takut tersesat. Aku lebih takut sama hal-hal seperti itu ketimbang interviewnya sendiri. Tapi alhamdulillah, yang diundang interview dari Padang gak cuma aku sendiri. Ada satu lagi mahasiswa akuntansi. Fiuh.

Aku mengabari Ibu Lusi, Miss Ola, dan Alicia. Tiga dosen yang membantu aku dalam mempersiapkan dokumen-dokumen kemarin. Alicia adalah salah satu dosen dari US. English Language Fellow. Aku menceritakan juga tentang kecemasanku akan Jakarta. Alicia membantu dengan mengenalkan aku kepada salah seorang temannya di Jakarta. Just in case aku perlu bantuan. Akhirnya, aku mengandalkan internet untuk berkenalan dengan Jakarta, sebelum menapakinya. Cie elaaah.

Untuk tempat tinggal, aku menghubungi salah satu teman satu jurusan ku yang lagi magang di Jakarta. Larisa. Dia bersedia memberikan tumpangan. But, rumahnya jauh dari lokasi interview. Aku coba cari-cari akses transportasinya gimana, sepertinya bisa. Ya aku memang harus berangkat 1-2 jam sebelum interview kalau mau aman memang. Tapi gak apalah.

Selain itu, aku juga mulai membuat skrip wawancara ala-ala google and another sources. Aku cari pertanyaan, lalu kucoba jawab. Sebanyak mungkin kucari pertanyaan. Aku juga mulai serius mengetahui perkembangan ilmu teknik industri, dan apa beda kurikulum di US sama di kampusku.

Aku masih gak percaya diri dengan  ini. Aku berpikir bahwa, I'm not competitive enough.
Gimana kalau aku nanti gak bisa jawab pertanyaan mereka?
Gimana kalau mereka nyesal udah ngundang aku?
Gimana kalau...
Gimana kalau...
Dan -gimana kalau- lainnya.
I overthink almost everything.

10 Februari 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 How do you write a love letter to a place? To a time? To bittersweetness?