Satu hari, kamu sempat bertanya
"Kenapa sih, Win, kepengen banget tinggal di luar negeri? Apa sih yang dikejar disana?"
Saat itu, aku sempat diam, sebelum akhirnya memberi jawaban "Ya, pengen aja.." kepadamu. Aku ingin memberi jawaban yang panjang, yang bisa meyakinkan dirimu bahwa alasanku sebenarnya sederhana, bukan alasan seperti "Ya karena luar negeri itu keren", bukan. Hanya saja, waktu itu kamu terdengar seperti merendahkan mimpiku, memandang bahwa mimpiku itu bukanlah suatu hal yang perlu diperjuangkan.
Dan ini jawaban yang sebenarnya ingin kusampaikan;
"Aku ingin tinggal di tempat yang tenteram, sepi, bersih, dan tidak berisik. Di tempat yang aku bisa berjalan kaki dan bersepeda tanpa takut diserempet kendaraan umum. Di tempat dimana aku bisa menghirup udara pagi yang segar, tidak perlu menggunakan masker saat pergi keluar rumah untuk menghindari polusi udara. Di tempat dimana aku bisa berkebun, menanam sayur, lalu memanennya untuk dimasak. Aku ingin tinggal di rumah dengan jendela besar yang mendapat cahaya matahari pagi ataupun sore. Aku ingin tinggal di desa kecil, dengan penduduk ramah dan saling kenal satu sama lain. Meski hanya sebentar, aku ingin merasakan kehidupan yang seperti itu."
Lalu mungkin kamu masih ingin bertanya, kenapa? Kenapa aku butuh hal seperti itu?
Maybe, it's because I'm a very unhappy person.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
How do you write a love letter to a place? To a time? To bittersweetness?
-
“Winni, saya buat dalgona pakai blender. Menjadi! Tak perlu penat-penat kacau pakai tangan.” Dulu waktu awal-awal dalgona viral, aku rajin b...
-
Ini masih tentang kuliah. Ada seorang teman yang sering memarahiku karena terlalu bodoh untuk tidak melawan ketika dihadapkan dengan situas...
-
Dulu waktu masih jadi maba a.k.a mahasiswa baru, kami diwajibin buat nyapa senior-senior. Me myself, agak males sih nyapa orang yang belum k...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar