Semester Ini...


Di semester ini, aku tidak berharap waktu cepat berlalu.
Aku tidak menunggu-nunggu UTS dan UAS, untuk kemudian pulang ke Medan.
Aku tidak menghitung-hitung minggu agar aku bisa secepatnya berada di 2 minggu terakhir, dan memesan tiket pulang.
Aku tidak kehilangan berat badan, malah bertambah drastis di bulan pertama.
Semester ini, adalah semester yang sudah kutunggu selama tiga tahun.
Semester ini, tidak ada hal-hal berbau senioritas.
Semester ini, aku menghapus lagu Bad Day- Daniel Powter dari hapeku.
Aku juga belum pernah mendengarkan lagu JKT 48- Apakah Kau Melihat Langit Mentari Senja untuk menghibur diriku, seperti yang selalu kulakukan di semester-semester sebelumnya.
Aku merasa menjadi mahasiswa seutuhnya di semester ini. Mungkin terkesan lebay.
Ya tapi, begitu.
Kehidupan kuliah yang seperti ini yang dari dulu aku inginkan.
Tidak ada senioritas, tidak ada waktu yang terbuang karena menunggu, tidak ada hal-hal tidak penting yang aku tidak bisa memilih selain untuk mengikutinya.
Aku bertanggung jawab penuh atas setiap detik yang aku punya di semester ini.
Aku menjadi yang paling muda di kelas, salah satu kawan se-grup aku sudah berumur 40an tahun.
Tapi siapapun akan saling menghargai, tidak merasa lebih hebat karena lebih tua, pun yang muda, tidak merasa minder untuk bersuara dan mengeluarkan pendapat hanya karena umurnya lebih kecil.
Orang-orang yang aku jumpai setiap hari, ibarat buku. Aku ingin membaca mereka, mengetahui tentang hidup mereka, dan menelusuri jalan pikiran mereka.
Setiap percakapan dengan mereka, ingin sekali rasanya aku rekam, untuk kuulang kembali suatu saat nanti.
Perjalananku semester ini, adalah perjalanan yang untuk mendapatkannya, aku harus menempuh malam-malam tanpa tidur, hari-hari dengan kegelisahan, dan doa-doa yang tak pernah putus kupanjatkan.
Untuk siapapun, ketika perjuangan terasa semakin keras, dan hampir membuatmu putus asa, itu mungkin tanda bahwa sesuatu yang baik sedang berada dekat sekali denganmu. 
Jangan pernah menyerah.
Dan jangan lupa untuk melibatkan Tuhan.
Kalau sudah, maka tidak ada yang tidak mungkin. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 How do you write a love letter to a place? To a time? To bittersweetness?