Aku bukan penikmat kopi sebelumnya. Aku hanya menegak kopi kalau harus begadang dan fokus. Kalau memang masih bisa aku handle tanpa kopi, aku akan jauh-jauh dari bubuk hitam pahit itu.
Bagiku, kopi itu bukan untuk dinikmati. Untuk apa menikmati yang pahit-pahit kalau ada yang manis?
Minggu lalu, saat aku ada workshop di Washington DC, mereka menyajikan kopi sebagai refreshment. Aku ngantuk berat saat itu. Akhirnya aku memutuskan untuk menuang kopi ke gelas kecil. Kopinya kopi murni, gak ada dicampur gula atau vanila. Aku harus nuang gula sendiri kalau mau. Dan tentu saja aku butuh gula. Gak cuma 1 bungkus, aku biasanya nambahin gula lebih dari 6 bungkus. Gula disini beda dengan gula di Indonesia, disini kurang berasa. Tapi aku sadar kalau 6 bungkus itu terlalu banyak. Bukankah kopi itu sejatinya pahit?
Kebetulan, gula saat itu sedang habis, mereka lagi ngambil stok lagi. Pas saat nunggu itulah, aku lihat salah satu temanku menuangkan vanilla ke kopinya. Aku belum pernah nyampurin selain gula ke kopiku. Saat itu aku berfikir bahwa gak ada salahnya nyoba. Aku pun menuangkan 2 cup kecil vanilla ke gelas kopiku.
Dan ternyata, itu KOPI PALING ENAK YANG PERNAH AKU COBA. Sempurna! Semenjak itu, aku hampir selalu minum kopi setelah makan. Tentu saja dengan vanilla. 


Kadang, kita tidak perlu menambahkan banyak hal buatan untuk membuat sesuatu menjadi lebih menyenangkan.  Dan kadang lagi, kita selalu punya pilihan untuk mengecap yang pahit dan yang manis, atau meninggalkan salah satunya. 
Kita juga selalu punya kesempatan, untuk menciptakan bahagia. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 How do you write a love letter to a place? To a time? To bittersweetness?