Past Tense

Dulu sekali, waktu aku masih SMP, aku bercita-cita ingin menjadi seperti Papa. Kerja di perkebunan, pakai sepatu boots, dan pergi pagi buta. Keren sekali bagiku. Tapi Papa melarang. Tidak ingin anak perempuannya kerja panas-panasan, di tengah kebun yang bisa jadi tempat hidup binatang berbahaya. 
Sesekali, aku ikut Papa kerja ke lapangan ketika akhir pekan. Atau mengunjungi kantor Papa yang saat itu ada toples-toples ulat hama. Atau mencoba membolak-balik buku bacaan Papa yang setebal bantal. 
Lalu Papa pergi. Laki-laki keren yang selalu membuatku bersorak "Papa pulang!" dari dalam rumah ketika suara mobilnya kudengar memasuki garasi. Papa pulang ke tempat yang berbeda dengan biasanya. Papa pulang selamanya. Aku tidak bersorak kali ini. 

Dan hari ini, sudah 9 tahun lebih berlalu, 
di kebun anggur, thousands kilometer away. Aku memakai sepatu boots, pergi kerja pukul 4.30 pagi, kerja di bawah matahari, lalu sesekali bertemu ular dan bermacam ulat hama. 

"My dad is an agronomist.", kataku suatu hari pada supervisorku. 
"Oh really? Where does he work?"
"In a palm oil plantation."

Aku tahu, ada yang tidak benar dengan tata bahasaku. Kita seharusnya menggunakan past tense untuk orang yang sudah tidak ada, kan?
But he is still here somehow. Di dalam hatiku. 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 How do you write a love letter to a place? To a time? To bittersweetness?