Hal yang paling bisa bikin aku capek sekarang ini adalah mikir. 
Iya, mikirin hidup, mikirin masa depan, mikirin tanggung jawab yang harus dipegang, mikirin kapan mau ini kapan mau itu.
Kupikir dulu, kekhawatiran yang kayak gitu tu datengnya dari lingkungan. Efek dari ditanya-tanya 
"Kapan wisuda"
"Kok belum kerja"
"Kok belum nikah"
dan kapan-kapan serta kok-kok lainnya. 
Tapi ternyata, udah tinggal jauh dari lingkungan yang kayak gitu gak bikin kekhawatiran itu hilang. Ini kali ya yang sering dibilang orang "quarter life crisis."
Wow aku akan berumur 25 tahun ini, terus nengok sekeliling, 
"Wah dia udah jadi ini.."
"Kerennya dia kerja disana.."
"Wah umur segitu pencapaian hidupnya udah sehebat itu.."
"Eh dia udah nikah.."
"Wah udah punya anak.."
"Yaampun anaknya udah mau dua.."

Gak ada habisnya ya nengok orang-orang sebagai perbandingan. Tapi ya gimana, mau tutup mata dan sosial media, gak semudah itu juga. 
Kalau orang-orang dekat gak nanya-nanya, diriku sendiri yang tiap malam buat percakapan di dalam kepala;
"Eh winni, mau sampe kapan mager-mageran kek gini?"
"2019 kemaren kau ngapain aja?"
"Oke, kalau umur segini masih belum mulai itu, nanti pas umur segitu kau mau gimana ha?"
Halah untung aja aku gampang molor jadi percakapan itu cuma bertahan semenit pas kepalaku nempel bantal, dan tidur. 

Kadang pengen bisa ngobrol lagi sama teman-teman lama, tapi, masing-masing kita udah punya hidup dan sibuknya masing-masing. Udah gak bisa segampang dulu kalo mau curhat tinggal ketok pintu kamarnya, terus cerita sampe tengah malam. Atau ngajak ke pantai makan kerupuk kuah nengok matahari terbenam sambil ngobrol. 
Dulu itu beban hidup kayaknya juga kerasa beraaaaaad banget. Praktikum, kuliah, laporan, ngurusin event. Tapi waktu dan teman utuk ngobrol ya ada aja. Jam 2 malem masih ngurusin soal untuk lomba besok paginya, udah denger adzan subuh tapi belum ada tidur dan masih di depan laptop ngerjain laporan dengan perut mual kepala pusing karena kebanyakan nenggak kopi. 
Inget banget dulu pernah protes ke Tuhan, "Ya Allah kenapa sehari cuma ada 24 jam siiiiih. Gak cukup ini......"

Mungkin gak sesulit itu ngehubungin teman-teman lama. Pengen cerita lagi, pengen nanya apa hal yang mereka khawatirkan sekarang, mereka pernah ngerasa kesepian gak, pernah ngerasa takut untuk ngambil keputusan gak?
Tapi, lagi-lagi aku khawatir kalo mereka mungkin udah berubah, mereka mungkin bakal terganggu, waktunya mungkin gak pas, mereka juga punya masalah yang mungkin aku bukan tempat yang nyaman lagi buat jadi tempat cerita. 

Manusia dan masalah-masalah di hidupnya. Kekhawatiran di kepalanya. Rasa cemas di dadanya. Dan rasa kesepian meski ada orang-orang yang menemaninya. 



Senja ini aku menangkap sepotong senyum yang tak asing. Betapa lucu ketika beberapa detik waktuku menyaksikan senyum itu membuatku mengingat banyak detail dari bertahun-tahun lalu, yang kupikir sudah kulupa. Yang kulupa mungkin adalah fakta bahwa otakku masih mengingatnya. Menyimpan memori itu di satu ruang, yang kututup rapat sudah, berharap aku tidak pernah perlu untuk membukanya lagi.
Aku salah, ruang itu tetap menjadi bagian diriku. Sekuat apapun aku memaksa untuk menutupnya rapat-rapat, hal-hal di dalamnya akan selalu punya cara untuk muncul ke permukaan pikiran.
Untuk menyadarkanku, bahwa manusia tidak akan pernah sanggup menghapus kenangan.

Agustus

ROADTRIP

Banyak perjalanan di bulan ini. Aku dan partner akhirnya memutuskan membeli sebuah mobil untuk mempermudah perjalanan kami di Australia. Bekerja di perkebunan berarti kami akan tinggal di daerah-daerah bukan kota, kami tidak bisa bergantung pada transportasi publik. Sejauh ini, aku masih nyaman untuk bekerja di farm meski pilihan pekerjaan untuk anak-anak WHV sebenarnya banyak. Entahlah, aku pikir dulu aku akan selalu semangat untuk mencoba hal-hal baru. Tapi sekarang aku malah merasa nyaman dengan hal yang sama. Mungkin sedang merasa lelah untuk beradaptasi terhadap hal baru. Aku cukup dengan rasa nyaman.

Roadtrip pertama kami adalah perjalanan dari Brisbane ke Emerald. Kami membeli mobil di kota yang terkenal dengan mobilnya yang murah dan bagus, Brisbane. Lalu kembali ke Emerald, tempat kami bekerja. Namun pekerjaan di Emerald sudah di penghujung season. Pekerjaan terakhir kami berhubungan dengan kebun anggur. Sekarang kami berencana untuk pindah, ke Coffs Harbour. Kota di pinggiran pantai, kota yang letaknya kurang lebih tepat di pertengahan Brisbane dan Sydney.
Perjalanan Brisbane-Emerald-Coffs Harbour benar-benar menyenangkan dan melelahkan. Pemandangannya jangan ditanya.
Luar biasa.
Bukit, padang rumput, tanah gersang, kota, desa, hutan, pantai. Dari Queensland ke New South Wales.
Di perjalanan ini, I learnt something the scary way; kalau mau roadtrip di Australia, pilih jalur yang lewatin kota. Jangan langsung percaya sama shortest route yang ditawarin map. Cek dulu.
Kenapa scary way? Karena kami ngelewatin daerah yang gak ada apa-apa selain hutan. Dan itu jalan kecil, bukan highway. Hampir kurang lebih sejam, cuma mobil kami yang ada di jalan itu. Aku sudah berpikiran yang macam-macam. Musik sudah aku pelankan- pertanda bahwa hati mulai tidak tenang. Sepanjang jalan aku memperhatikan sekitar, mencari-cari jika ada rumah atau mobil atau tanda-tanda kehidupan lain disana. Nggak ada. Sinyal juga hilang.
Pas sinyal sudah muncul, aku langsung cek map, ternyata kami keluar dari highway dan masuk ke jalan kecil sebagai shortcut.
Namanya orang indo, walau udah terancam juga masih ada untungnya; untungnya hari masih terang. Aku langsung cek rute yang tersisa, memastikan gak akan ada lagi jalan-jalan kecil di depan kami. Cukup mudah untuk memastikan gak masuk jalan kecil; keep the route on the highway.

Ah iya, kami juga singgah di Gold Coast, main di the famous Movie World! We checked another Australia list! Walaupun, sejujurnya, aku rasa Dufan lebih keren dan wahananya lebih banyak.

Pantai di Gold Coast itu bagus! Banyak turis tapi tetap bersih.
Cari parkir susah di Gold Coast (atau di kota-kota besar lainnya). Parkir di kota itu kebanyakan berbayar, kalo yang gratis, biasanya dibatasin waktu. Misal kalo ada tanda 2 jam, berarti setelah dua jam harus pindah. Dan kalo sembarangan parkir, siap-siap dapat surat cinta dari polisi. Denda.
Ngomong-ngomong denda, di roadtrip ini kami juga kena denda. Gak kami sih sebenarnya, partner ku. Karena dia yang nyetir. Fine for speeding. Kamera yang bisa ngukur kecepatan mobil ada dimana-mana dan kita gak bisa selalu tau letaknya, mobil kami ketangkap dua kali pas lagi exceed speed limit. Dendanya berapa? Hehe, kurang lebih 170 dolar :))) Kami tanggung berdua karena aku juga ngerasa lalai ngerepetin dia masalah speed limit.
BUT SERIOUSLY, jalanan yag lurus dan mulus emang kadang terlalu menggoda untuk nambah kecepatan. Apalagi kalo gak ada rintangan di depan. 

COSTA BERRIES

Akhirnya kami dapat panggilan induction di Costa! One of Australia's giants! 
Setelah hidup di jalan kurang lebih semingguan, kami nyampe di Woolgoolga, NSW. Siap-siap untuk kerja keras lagi setelah hepi-hepi liburan sana sini. Kerjaan kami selanjutnya adalah metik blueberry yay! Kata Akmal, kerjaan ini lumayan gampang dan gak capek. Easy money. Aku lumayan percaya dia yang udah berpengalaman kerja lebih dari dua tahun di berbagai penjuru Australia. Suhu!!!
Kerja metik blueberry ini dibayar piece rate. Umumnya kerjaan farm itu dibedain jadi dua, hourly atau piece rate. Kalau hourly udah ketebak dari namanya lah ya, dibayar sesuai berapa jam kita kerja. Nah kalo piece rate, dibayar berdasarkan berapa banyak yang kita kerjakan/dapatkan. Biasanya kerja metik-metik berries ini piece rate. Jadi makin banyak kita petik, makin banyak duit yang didapat. 
Artinya, harus kerja lebih cepet! Awalnya aku ragu sih untuk kerja piece rate gini, udah terbiasa kerja hourly, dan apalah aku yang cuma cepet pas makan doang. Urusan lainnya lambat. 
But my boyfriend is here to help meeeeh!
Dia emang kerjanya cepet, kalo lagi niat. Di kerjaan kami sebelumnya, dia jadi salah satu top crews (dan aku ada di bottom three). Jadi kesayangan supervisor dong dia. Dan kesayangan aku juga pastinya. Hoho.

WOOLGOOLGA

Awalnya kami berencana untuk cari shared house di daerah Coffs Harbour, tapi karena Woolgoolga lebih dekat jaraknya ke tempat kerja, dan masih dekat juga ke Coffs Harbour, kami akhirnya memutuskan untuk tinggal di kota ini. Tepi pantai. Cuma 5 menit jalan dari rumah sudah bisa jumpa pantai. Pantai di NSW agak beda sama pantai di Queensland. Disini pantainya gak banyak buaya, dan airnya lebih biruuuuu. Bisa banget buat berenang. Betah lah pokoknya aku disini. Mo punya rumah disini bisa gak ya? 
Suasananya, ya, macam suasana di kota-kota kecil Aussie lainnya; tenang, bersih, rapi. 
So far, ini kota favoritku di Aussie. 




Lagi pengen sarkas

"Kemarin saya dimarahin suami saya, Win."
"Eh kenapa, Bu?"
"Iya, kan kita pulang kerja bareng-bareng tuh, pas nyampe rumah, ya biasalah ya, ibuk-ibuk pantang nengok rumah berserak, jadi saya langsung ambil sapu, mau nyapu. Eh dia marah, dia mau kami sama-sama istirahat. Ya saya capek sih, tapi gimana, udah kebiasaan beberes rumah dulu walaupun pulang kerja. Dia bilang gini; kita sama-sama kerja seharian di luar, sekarang saya mau istirahat tapi saya mau kamu juga istirahat. Rumah nanti kita beresin sama-sama."
"Waaaah.."
"Iya, dia juga selalu nyiapin dinner. Jadi saya cuma nyiapin sarapan sama buat bekal lunch, nanti pas dinner, saya tinggal nunggu dia siapin aja."

Itu percakapanku sama seorang ibu indo yang nikah sama bule. Bergaul sama mamak-mamak yang punya suami bule disini jadi nambah insight ku, bahwa pekerjaan rumah itu sangat mungkin untuk dibagi antara suami-istri, hal yang sangat jarang kulihat di lingkunganku dulu. Mungkin karena lingkunganku patriarkinya tinggi ya.

Aku juga pernah ngobrol sama satu mamak indo lagi,
"Coba perhatiin deh, Win, kebanyakan yang kawin campur itu, ceweknya yang orang indo, cowoknya bule. Kenapa coba? Karena budaya kita yang cewek itu kan diajarin dari kecil untuk ngurus rumah, masak, sedangkan disini itu, biasanya dari kecil gak dibedain mau anak cewek atau cowok, ya harus ngerti pekerjaan rumah. Jadi laki-laki bule itu jarang expect perempuan untuk ngerjain semua pekerjaan rumah, karena mereka tahu kalo itu tanggung jawab mereka juga. Nah, coba deh bandingin sama mindset laki-laki di indo, dan gimana kalo mereka nikah sama cewek bule yang dibiasain sama kesetaraan peran di kehidupan sehari-hari?
Suami saya itu sering banget muji saya rajin, jago masak, bahkan untuk hal-hal sepele kayak beresin tempat tidur aja saya sering dipuji dan di-terima kasih-in."

Memang gak bisa dibandingin sih, ini udah masuk ke budaya dan kebiasaan.
Gak apple to apple perbandingannya. Cuma bisa diterima sebagai pandangan lain aja.
Hhh, bisa berharap apa sih kita sama orang-orang di negara yang RUU-PKS aja susah banget disahkan.

Hehe.

Kamu bebas menentukan apapun,
bersedia untuk bersamaku atau menyerah saja.
Pilihan terbuka sebesar-besarnya, kamu hanya perlu memilih sebaik-baiknya.
Aku sudah tidak takut pada perasaan luka dan kecewa. Tak peduli seberapa parah, tak peduli seberapa lama. Nanti perasaan itu akan pulih dengan caranya sendiri.
Kehilangan, ditinggalkan, memutuskan untuk pergi, adalah hal-hal yang mengajarkanku bahwa pada akhirnya aku akan menjalaninya sendiri.
Kamu pun.

Kita perlu untuk memikirkan kebahagiaan kita.
Bersama, ataupun sendiri-sendiri.

Kita memiliki banyak sama

Sama-sama suka pantai
Sama-sama ingin tinggal di tempat yang tidak hiruk pikuk
Sama-sama suka merasa tiba-tiba kesepian di tengah orang banyak
Sama-sama kadang merasa tak yakin
Sama-sama egois
Sama-sama keras kepala
Sama-sama merasa paling benar
Sama-sama merasa paling besar berkorban
Sama-sama merasa sudah berjuang

Untuk yang terakhir, kita memang benar pernah berjuang. Hanya saja tidak di waktu yang sama.

Juli

Sebelumnya saya tidak pernah membayangkan bahwa saya akan merasa sebaik-baik ini tanpa dia. Saya yang beberapa bulan lalu masih sering mengunjungi ruang hening itu untuk mengurai segala memori dan berharap saya masih punya kesempatan untuk melanjutkan hari-hari saya dengan dia.

You can't unlove anyone. 
Benar. Saya rasa saya tidak bisa membenci dia yang dulu pernah begitu saya cintai. Saya bisa berusaha untuk melepaskannya, tidak memaksa dia untuk tinggal disebelah saya. Tapi yang saya sadari, saya tidak bisa memaksa diri saya untuk membenci dia. Cara seperti itu tidak membantu saya menyembuhkan diri. Yang ada saya hanya semakin ingin memaksa dia untuk kembali.
Saya membiarkan diri saya tetap melihat dia, melalui sosial media. Meski awalnya berat sekali untuk menekan rasa ingin menyapa, tapi tetap saya lakukan berulang-ulang. Sampai akhirnya saya mampu membiarkan diri saya melihat dirinya tanpa ada perasaan terluka, tanpa ada perasaan ingin kembali ada di sampingnya.

Saya juga tidak lagi merasa bahwa dia meninggalkan saya dan saya ditinggal ataupun sebaliknya. Jalan kami berpisah. Tidak lagi sama dan tidak bisa dipaksa untuk terus bersama.

Semoga dia selalu berada di sekitar orang-orang baik dan selalu ada buat dia. Semoga ribuan bintang senantiasa menemaninya meraih apa yang sedang diperjuangkannya.

Selamat bertambah umur.


 How do you write a love letter to a place? To a time? To bittersweetness?