I watched Extremely Loud & Incredibly Close today. In the movie, the main character, Oscar, said this:
Bagaimana jika masa lalu mu datang kembali, dan ingin memperbaiki apa yang pernah terjadi?
Membawa jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang selama ini masih terus kau pertanyakan.
Kau mungkin akan goyah, hal-hal terbaik dan terindah memang terkadang perlu sakit dulu untuk akhirnya dimiliki.
Tapi, buat apa membuka kembali apa yang dulu sudah terlanjur kita tutup?
Di dunia ini, ada hal-hal yang sebenarnya sudah berakhir, dan tidak mesti dilanjutkan lagi. Tidak semua cerita memiliki akhir bahagia. Pertanyaan-pertanyaan itu pun mungkin sudah terjawab, hanya saja manusia terkadang tidak ingin menerima karena itu bukan jawaban yang diinginkan.
Ikhlaskanlah, akhirnya mungkin memang harus begitu.
First Goodbye
Aku sangat sadar
bahwa akan selalu ada perpisahan untuk suatu perjumpaan. Dan hari ini, aku
melambaikan lambaian selamat tinggal untuk pertama kalinya semenjak aku di
Amerika.
Workshop di
Washington DC telah usai. Malam itu, malam terakhir, adalah waktu yang paling
emosional. Aku berusaha keras untuk tidak menangis. Well, aku tidak menangis
untuk orang-orang yang baru kutemui, camku dalam hati.
Aku baru bertemu
mereka 3 hari yang lalu.
Tapi, kenapa di hari
terakhir ini, aku merasa bahwa ada bagian diriku di mereka. Aku melihat diriku
di diri mereka.
Aku merasa aku punya
banyak momen "me too!" dengan mereka.
Momen "me
too!" ini begitu terasa di hari terakhir workshop. Ketika kami sama-sama
menuliskan perasaan kami tentang beberapa hal.
Ini menyangkut
kembalinya kami ke negara asal kami masing-masing.
Di ruangan itu,
ditempeli beberapa kertas karton besar dengan judul di masing-masing bagian
atasnya.
"How I see my
community"
"Returning to school or work"
"Returning to school or work"
"Family and
friends"
"My future
goals and plans"
"My personal
growth"
Slight Reminder
We've got an e-mail
from World Learning today. It's the best e-mail of the week, they said. Because
it came along with our tickets to Washington DC.
I was so excited for
the first seconds, and it switched to a reminder that my stay in this country
is coming to an end. Yes, this workshop that I'm gonna attend is labelled as
"End of Program Workshop."
I have to get ready
for leaving.
God, even just
thinking of it has made my heart beats so fast. It's not a happy beat, btw.
It was, a nervous. A
got-some-butterflies-on-my-stomach beat.
In the afternoon, I
skyped with Lauren, one of my advisors. She asked me some necessary questions
about my classes, comunity services, and other school stuffs. Before we ended
the call, Lauren said:
"See you next
week in DC, Winni.", in a cheerful way of saying.
Yes, Lauren, see you
next week.
Let me put aside my
thought of leaving and write some happy things that I should be thankful for.
I'm so looking
forward to seeing Lauren, Roya, and all World Learning staffs in Washington DC.
All the people behind this exchange program, they work so hard to make so many
people's dreams come true. They make our journey in USA possible, they are,
GEM.
At first, I thought
that it would be so fun to be in their position, I mean, to have that kind of
job. Well, yeah it is so fun, they work on diversity, on mutual understanding,
on helping great youngsters to pursue their dreams. But it is not only about the
fun. They work hard. Very hard. They arranged our schools, they reserved our
tickets, they made sure that we catched up our connecting flight, they stayed
awake when we were travelling to US, from our home countries. They made sure
that we arrived in our university safely. We talked for several times during
the semester, they cared about whether we enjoy the foods, the dorm, or having
some good friends. Yeah. We owe them a lot.
They are so kind.
I would hug them so
tight when I get to meet them. I will never forget about them.
No, they give me
love, help, kindness, and a feeling of being so lucky to be able to meet them
in my life.
Thank you for
helping us, World Learning.
I learn a lot.
Seriously.
7 November 2016
Our Fear
Jum'at, 2 Desember
2016.
Tepat seminggu
sebelum aku meninggalkan US. Aku tidak ada kuliah tiap hari Jum'at. Begitupun
Honggyoung dan Tina, dua orang teman dekatku selama disini.
Kebanyakan
internasional student (terutama yang hanya exchange) memang sengaja tidak
mengambil kelas hari Jum'at.
Agar bisa
jalan-jalan. Pikir kami.
Tapi minggu ini,
kami tidak ada rencana kemana-mana. Ini adalah weekend terakhirku di kampus.
Aku ingin menghabiskannya hanya di kampus.
Aku bangkit dari
tempat tidur sekitar pukul 9. Menelepon Honggyoung, menanyakan apakah dia mau
sarapan bareng. Telepon ku yang membangunkannya, suaranya berat. Setelah itu,
aku keluar kamar untuk mencuci muka. Sekalian mengetuk kamar Tina. Tina juga
baru bangun ternyata.
"Let's have
breakfast in 15 minutes."
Dia
mengangguk.
Kukira dia akan
meminta tambahan waktu. Untuk mandi dan sebagainya.
15 menit kemudian,
aku sudah berdiri diantara Tina dan Honggyoung, di depan asrama. Cuaca cukup
dingin hari ini. Kulihat tadi subuh-subuh sekitar -2 derajat.
Kami berhenti
sejenak. Berdiri, melihat penampilan satu sama lain.
Tidak ada satupun
dari kami yang mandi pagi itu, tidak pula ber make up. Kami hanya memakai
pelembab bibir supaya bibir kami tidak pecah-pecah. Tina memakai topi nya,
pertanda dia tidak ber-make up. Honggyoung masih jelas dengan muka bantalnya.
Aku? Aku masih dengan piyama dan jilbab yang kusut.
Kami berjalan dengan
pede menuju kafetaria.
Karena hari Jum'at
dan masih terbilang pagi, kafetaria tidak terlalu ramai. Kami memilih tempat
duduk di dekat jendela besar yang menghadap gedung perkuliahan. Tempat duduk
favorit kami.
Setelah mengambil
makanan, kami duduk. Tidak langsung mulai makan.
Tina memulai
percakapan.
Dia berkata bahwa
dia sedikit takut untuk balik ke Jepang, negaranya.
Kami tanya kenapa,
dia jawab karena dia sudah kurang peduli dengan penampilannya. Dia sudah nyaman
dengan muka bantal dan baju tidur kemana-mana. Sedangkan di negaranya,
orang-orang "terlalu" peduli dengan penampilan orang lain.
Honggyoung langsung
dengan semangat menimpali.
Dia merupakan satu
dari sedikit orang Korea yang jarang ber-makeup.
Selama satu semester
ini, mungkin aku bisa menghitung dengan jari sebelah tangan, berapa kali dia
ber-makeup.
Tapi dia bilang, di
negaranya, orang bahkan men-judge seseorang tidak sopan jika menunjukkan
"bare face" atau muka polos tanpa makeup mereka ke orang lain.
Aku menghela napas.
Aku sendiri?
Aku sudah lupa kapan
terakhir kali aku menggosok baju. Aku sudah jarang menghabiskan waktu belasan
menit untuk mematut diriku di cermin sambil berfikir "Ini jilbab sama baju
cocok gak ya? Tabrak lari gak ya?"
Kami sudah nyaman
dengan keadaan seperti ini.
Tidak ada yang akan
mengomentari muka bantal kami, muka tanpa makeup kami, dan baju kusut kami.
Tidak ada yang akan
menertawakan jika baju kami tidak matching atau apalah.
Tapi, jika kami
menggunakan baju yang menarik, orang-orang tidak akan segan untuk memuji.
"Oh I love your outfit!"
"Your hijab is so beautiful!"
"What a nice shoes!"
"Oh I love your outfit!"
"Your hijab is so beautiful!"
"What a nice shoes!"
Kami harus
beradaptasi lagi.
Ke budaya dan
tekanan sosial yang sudah kami jalani kurang lebih 20 tahun ini.
Meninggalkan 4 bulan
yang banyak mengubah cara pandang dan cara berperilaku kami.
4 bulan dan 20
tahun.
Ini gak akan sulit,
kan?
(3)
Dua hal yang
membuatku merasa tenang setelah kembali dari Amerika
Adalah jendela kaca
besar, dan Medan dari ketinggian
Pergi jauh membuatku
mampu melihat beberapa hal dalam jarak
Teman, lingkungan
Sialnya, aku terlalu
menikmati jarak itu
Hingga ketika aku
kembali, dan jarak itu hilang
Aku merasa asing
Aku merasa kecewa
Aku menikmati
melihat kehidupanku selama 20 tahun ini, dari jarak yang jauh
Benar, bahwa jarak
mampu membuat hal-hal menjadi lebih indah dan bagus dipandang
Tapi itu bisa
berarti, bahwa hal-hal tersebut memang seharusnya hanya dilihat dengan jarak
Dekat hanya akan
membawa kekecewaan
Menabur luka
Terima kasih telah
mengenalkan ku pada satu tempat dengan jendela kaca besar, dan ketinggian
Sehingga aku kembali
bisa melihat kotaku dari ketinggian. Dengan jarak.
Aku, merindukan
jarak itu...
Medan, 13 Desember 2016
21.35
(2)
Ruang Tunggu
Nashville,
Detroit, Tokyo, Jakarta
Mereka sekarang
memiliki satu kesamaan
Ruang tunggu
bandaranya pernah menjadi saksi bisu
Percakapan kita
Aku tidak pernah
merasa sebahagia ini ketika menunggu
Apalagi menunggu
waktu untuk terbang
Semua kegelisahanku
menguap
Sakit perutku hilang
Di beberapa tempat, antara 9 dan 10 Desember 2016
Langganan:
Postingan (Atom)
How do you write a love letter to a place? To a time? To bittersweetness?
-
Selamat tutup tahun. Hari ini kantor tetap beraktivitas seperti biasa. Malah semakin sibuk, mengingat ini adalah hari terakhir di 2015. ...
-
One of my friends asked me, how did I love New York. Yes, I had been to the one of most wonderful cities in the world: New York. I managed...
-
Apa guna mempersulit masalah yang seharusnya bisa diselesaikan dengan cara yang sederhana? Apa guna mencari-cari kesalahan orang lain un...