Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan
Tiba-tiba saja kalimat yang kubaca di fanpage Tere Liye itu menari-nari di benakku.
"Apa memang sesuka itu?"
Aku? 
Aku rasa tidak. Aku hanya ingin menghibur diri saja saat dihimpit deadline dari berbagai arah. 
Tapi yang tadi itu sungguh diluar kendali ku. 
Aku memutar arah dan mendekatinya. Seperti biasa, terselip satu batang kecil yang paling kubenci disela jari telunjuk dan tengahnya. 
Laboratorium ini sudah berbau oli dan bau-bau perkakas mesin yang lain, tidak bisakah manusianya berhenti menambah pencemaran udara? 
Kalau aku berpikir secara waras, aku pasti sudah memutar arah kembali. Sejak kapan aku tahan berlama-lama diruangan bersama perokok? Kecuali itu terpaksa-sangat terpaksa.
Tapi ini? Aku yang memilih. 
Aku sudah didepannya sekarang. Lalu? 
Aku diam. Dia membelakangiku, Tertawa melihat teman-temannya mempermainkan-atau mengospek istilah lainnya- beberapa mahasiswa baru. Aku meringis. Aku benar-benar sudah gila kurasa. 
Kuputuskan untuk pergi saja sebelum dia melihatku. Sesaat aku akan melangkahkan kaki, seorang temannya yang menyadari kehadiranku bersorak.
"Bro, praktikan tuh."
Dia langsung membalikkan badan.
Sekarang menghadapku.
Woah.
Aku mau ngapain tadi?
"Ada apa?"
"Eng, gini kak, kemarin bapak dosennya ngasih soal di kelas, saya agak kurang mengerti. Kakak bisa bantu?"
"Mana soalnya?" dia memindahkan tangannya yang memegang rokok tepat didekatku. Aku yang tidak siap langsung terbatuk. Mungkin dia sadar, dia mencari tempat untuk meletakkan rokoknya sementara. Nihil. 
Akhirnya dia tetap memegang rokok ditangan kirinya. Aku menyodorkan sebuah kertas. 
"Ini kak, kalau pada perhitungan waktunya, sudut antar dua lingkaran ini berpengaruh gak?"
Dia berpikir sejenak. Entah berpikir atau berusaha membaca tulisanku yang luar biasa berseni itu.
"Kalau pada proses gurdi, ini gak berpengaruh kok. Tapi kalau proses sekrap , sudut itu paling digunakan cuma untuk pemrogramannya. Pokoknya pahatnya itu nanti jadinya blablabla."
Dia menggerakkan penanya diatas kertasku. Dengan satu kaki yang ditekuk dan diangkat keatas. Poninya yang panjang itu menutupi hampir seluruh dahinya. Bahkan sampai ke lensa sebelah kiri kacamatanya. Celana jeansnya dicoraki beberapa bercak hitam, bekas oli mungkin. 
Dia mendongak, "ngerti kan?"
"Ngerti kak. Yang ini pake rumus phitagoras berarti kan kak?" 
"Ha iya, betul."
"Oke makasi kak."
"Yop."
Aku beranjak meninggalkan dia. Membawa satu kepastian. Aku tidak benar-benar suka padanya. Jantungku masih berdegup secara normal. Biasa saja. 

KU NANTIKAN KAU DIBATAS WAKTU

Kunantikan Kau Dibatas Waktu
(Oleh: Winni Septi Fanny Yasrin)

Kalau memang kau pilihkan aku
Tunggu sampai aku datang
Nanti kubawa kau pergi
Ke surga abadi

Kini belumlah saatnya
Aku membalas cintamu
Nantikanku di batas waktu
(Edcoustic- Nantikanku Di Batas Waktu)

“Aku rasa, pertemanan adalah yang terbaik untuk kita,” suara itu pelan, tapi bagai sambaran petir dihati Hyun Bin.
Wae? Kenapa?”
“ Aku rasa aku tidak perlu menjelaskannya. Aku dan kau itu sangat berbeda.”
“Agama?” pertanyaan Hyun Bin tak di gubris Nadia.
Sudah jelas masalahnya adalah Agama. Nadia yang notabene seorang Akhwat aktivis Rohis di sekolahnya, kini di tembak oleh seorang cowok yang baru dikenalnya 2 bulan yang lalu.
Lee Hyun Bin. Pelajar Korea yang kebetulan sedang melakukan studi banding di sekolah Nadia, jatuh cinta pada saat pandangan pertama nya dengan Nadia. Sejak saat itu, Hyun Bin memanfaatkan waktu nya di sekolah tersebut untuk mendekati Nadia. Tapi, ada suatu tembok besar yang sangat menghalanginya untuk mendekati Nadia. Ya, Agamanya. Hyun Bin dilahirkan di tengah keluarga yang tidak mengenal Agama.  Sedangkan Nadia, Akhwat dengan jilbab lebar. Hyun Bin yang semakin penasaran dengan Nadia, tak hentinya menyusup di celah-celah waktu senggang Nadia, walaupun hanya untuk say-Hi. Di hari pertama Hyun Bin di sekolah Nadia, Ia mengikuti Nadia. Saat itu Nadia hendak menunaikan Sholat Dhuha. Nadia masuk ke Mushollah. Hyun Bin pun ikut masuk.
“Kyaaaaaaa!!! Ini tempat khusus Akhwat. Ngapain kamu disini?” Dina yang sedang berada di dalam Musholla histeris ketika melihat Hyun Bin masuk di bagian perempuan. Nadia yang mendengar ribut-ribut dari dalam Musholla pun menunda kegiatan berwudhu nya dan langsung melesat ke Musholla. Mata Nadia langsung menangkap sesosok cowok asing di bagian saf perempuan. Ia menatap cowok itu minta penjelasan.
“I’m so sorry.. Maaf, saya hanya ingin berkenalan dengan kamu.. Hai…” Hyun Bin bergerak mendekat ke arah Nadia dan mengulurkan tangannya.
Nadia heran. Ia langsung bergerak mundur untuk menghindari tangan Hyun Bin yang begitu antusias.
“Maaf, kalau ingin berkenalan, bisa di luar saja. Disini bagian khusus perempuan. Dan kamu tidak sepantasnya berada disini. Tempat mu di sebelah..” jelas Nadia.
Hyun Bin mengikuti arah pandangan Nadia, tempat dibalik hijab hijau tua itu. Ia kembali menatap Nadia dengan senyum aneh itu, dan melesat pergi. Ia bahkan lupa untuk meminta maaf kepada orang-orang yang terganggu akibat kehadirannya.
“Hei, Nadia. Kenapa nyuruh dia masuk ke tempat saf laki-laki. Kamu emang gak tau dia siapa?” Fita protes akan apa yang Nadia sebut tadi.
“Enggak, emang kenapa? “
“Dia itu Lee Hyun Bin loh, dia itu pelajar Korea yang belajar disini untuk jangka waktu 2 bulan.  Dia dari Ko-re-a. Dan setau aku orang Korea itu banyak menganut paham Atheis.”
“Oh, iya yaaa. Kenapa aku bisa lupa. Aih…” sesal Nadia.
Di hari berikutnya, Hyun Bin banyak menghabiskan waktu istirahatnya untuk mencari tahu tentang Nadia. Hyun Bin sangat tertarik pada Akhwat dengan jilbab lebar itu sejak pertama Ia melihat Nadia di gerbang masuk sekolah. Hyun Bin pernah mendengar tentang Islam, dan kewajiban bagi perempuan untuk menutup aurat. Tapi Ia hanya sekedar mendengar. Ia juga tidak percaya pada Agama apapun. Baginya, asalkan hidup dengan tentram dan menghargai satu sama lain saja sudah cukup. Walau dalam hati kecil Hyun Bin sering merasa kesepian dan kehilangan arah.Ia pernah mencoba mempelajari Agama Budha, Hindu, dan lainnya. Ia mendatangi vihara, kuil, bahkan sampai melakukan meditasi untuk menenangkan hatinya. Tapi tetap saja, Ia masih belum bisa mendapatkan apa yang diingankannya. Ketenangan batin. Sampai akhirnya Ia mendengar kata Islam. Hyun Bin mencari tahu tentang Islam melalui internet. Ia mengetahui sedikit tentang Islam, tentang sholat, puasa, sedekah, tapi Ia masih belum begitu jelas. Ia butuh seseorang yang bisa membantunya mengenal Islam lebih jauh. Suatu hari, Hyun Bin mengikuti Nadia yang ingin mencari buku di perpustakaan. Nadia sendiri, ini kesempatannya.
“Hai, lagi apa?” basa-basi Hyun Bin.
Nadia tak menggubris. Ia tak ingin memperpanjang cerita dengan bule satu ini.
“Bukannya dalam Islam itu harus saling mengasihi satu sama lain ya? Salah satu bentuk kasih sayang kan dengan saling tegur sapa.”
Nadia hanya melirik, lalu kembali ke buku bacaannya.
“Oke, aku nyerah. Kamu itu sangat cuek. To the point aja. Aku ingin belajar tentang Islam. Bisakah kamu membantuku?”
Kali ini Nadia menoleh ke arah Hyun Bin. Hyun Bin tersenyum penuh kemenangan. Akhirnya….
“Aku tidak bisa mengajarimu. Aku juga masih butuh banyak belajar. Kamu datang saja ke yang lebih ahli.”
Senyum di bibir Hyun Bin seketika hilang. Ia terpaku untuk beberapa detik. Lalu tersadar ketika mendengar bunyi kursi bergeser. Nadia beranjak. Ia hendak menghentikan Nadia. Namun langsung mengurungkan niatnya itu. Nadia sempat menoleh sebelum benar-benar hilang dibalik pintu.
“Datang ke Musholla nanti sepulang sekolah.” Nadia mengatakannya cepat, hampir tak didengar oleh Hyun Bin. Tapi Ia masih bisa mengerti, nanti sepulang sekolah Nadia mengajaknya ketemuan… Hyun Bin kembali tersenyum tak jelas.

“Kalau kamu ingin belajar tentang Islam, ikuti mentoring bersama mereka, pembimbing nya Kak Hanafi, dia lebih banyak tahu tentang Islam daripada aku.” Nadia hanya mengatakan itu sebelum Ia beranjak meninggalkan Hyun Bin yang masih melongo bersama pengurus Mushollah yang Ikhwan. Hyun Bin sedikit kecewa, berarti Ia tidak bisa dekat dengan Nadia. Tapi, tak apalah. Yang penting Nadia sudah tidak begitu cuek lagi padanya. Hari berikutnya, Hyun Bin banyak berkumpul dengan aktivis Rohis. Pernah sekali Hyun Bin mengikuti sebuah diskusi tentang Keberadaan Tuhan, di diskusi tersebut, ada satu hal yang sangat membekas di hati Hyun Bin, yaitu “Tuhan Itu Esa”. Begitu terus sepanjang hari, Hyun Bin sering datang ke Mushollah untuk mendengar orang-orang ber-tadarus. Belum pernah Ia mendengar lantunan ayat suci yang membuat nya tenang seperti itu. Benih-benih hidayah Allah pun mulai tumbuh di hati Hyun Bin.
Hubungan Hyun Bin dengan Nadia pun mulai sedikit akrab. Hyun Bin kini tak lagi sering mengganggu Nadia, dia sudah tahu apa alasan Nadia menjaga jarak dengannya selama ini. Dan dia menghormati itu.
Nadia pun tak segan lagi mengobrol dengan Hyun Bin, dan tentu saja, mereka tidak hanya berdua. Aktivis Rohis lainnya pun tertarik mengobrol dengan pria Korea itu. Hyun Bin memiliki pengetahuan umum yang luas. Mungkin benar, waktu yang indah itu akan berlalu dengan begitu cepat. Hari ini, hari terakhir Hyun Bin di Indonesia, besok dia akan kembali ke Korea. Masa studi bandingnya telah selesai. Sebelum pulang, Hyun Bin ingin berbicara dengan Nadia. Mereka pun bertemu di depan Musholla..
“Terima kasih telah membantuku belajar tentang Islam..” Hyun Bin memulai pembicaraan.
“Jangan hanya padaku, tapi pada semua yang ada disini.”
Nadia merasakan sesuatu yang beda ketika mengatakan nya. Seperti suatu kelegaan.
“Orang-orang di sini, terutama aktivis Rohis, sangat baik dan ramah. Meski dengan orang yang tidak menanggap adanya Tuhan seperti saya ini..”
“Hyun Bin, aku selalu berharap hidayah Allah akan menghampirimu…” kata-kata itu begitu tulus mengalir dari mulut Nadia.
“Jika aku sudah masuk Islam, apakah, apakah, kau akan menyukai ku?”
“Maksudmu?”
“Aku menyukaimu, Nadia.. Sejak pertama kali aku melihatmu. Bahkan sekarang, kurasa aku mulai mencintaimu.” kata-kata itu sedikit gombal, tapi ketulusan nya begitu nyata.
“Kau belum mengerti apa itu cinta. Dan bagaimana hakikat cinta.”
“Maksudmu?”
“Cintailah siapa yang menciptakan dan memiliki kuasa atas dirimu. Baru kau bisa mendapatkan cinta sejati. Untuk saat ini, pertemanan lah yang terbaik untuk kita.”
Nadia bangkit dari tempat duduk nya dan langsung berjalan cepat ke arah Mushollah. Ia menyeka airmata nya yang hampir terjatuh. Menangis? Ya, Nadia pun tak tahu mengapa Ia menangis. Itu lah perkataan terakhir Nadia. Setelah itu, mereka berpisah. Benar-benar berpisah. Hyun Bin tak pernah menghubungi Nadia setelah Ia sampai di Korea.

8 tahun kemudian….
Cuaca panas di Mekkah begitu menyengat. Nadia berjalan cepat dengan masker yang menutupi sebagian wajahnya. Tujuannya adalah Jabal Rahmah, Bukit Arafah. Nadia sangat ingin mengunjungi tempat itu sudah sejak lama. Ia ingin melihat langsung tempat Adam dan Hawa dipertemukan. Setelah berjalan kaki kurang lebih lima belas menit dibawah teriknya matahari, Nadia tiba di bukit arafah. Ia memejamkan mata, berdoa sesuatu. Begitu khtusyuk hingga air mata nya jatuh membasahi pipinya. Setelah berdoa, Nadia berjalan mengelilingi bukit. Nadia berhenti di depan sebuah tugu yang memiliki tinggi sekitar 8 meter dan lebar 1,8 meter. Sebuah monument berwarna putih yang ada di bukit arafah. Ia ingat cerita guru Agama nya ketika SMA dulu. Di sini lah tempat Adam dan Hawa di pertemukan. Jabal Rahmah, bukit kasih sayang. Nadia berharap bisa bertemu dengan seseorang disini. Namun, Ia rasa itu kurang masuk akal. Nadia pun berbalik, hendak kembali ke penginapan. Tiba-tiba, seorang pria yang tinggi nya lebih dari Nadia, menabraknya. Nadia hampir tersungkur.
“Astaghfirullah.. I’m so sorry Miss..” ucap pria tersebut.
Nadia hendak bangkit, Ia melihat ke arah pria yang menabraknya. Ia hampir saja jatuh kembali ketika melihat wajah pria itu. Begitupun dengan sang pria. Mereka sama-sama shock..
“Na..Nadia?” tanya sang pria ragu..
“Ya.. Hyun Bin?” Nadia kini sulit bernafas.
“Bukan, saya Fajri…” jelas Hyun Bin sambil nyengir.
“Kau….”
“Iya, hidayah Allah kini benar-benar sudah menghampiriku…” ucap Hyun Bin antusias.
“Alhamdulillah….” Nadia kini tak kuasa menahan air mata yang sejak tadi menyesaki kelopak matanya.
Selanjutnya, yang terjadi hanya lah saling diam. Mereka sama-sama tak tahu apa yang harus dibicarakan. Ya, itulah rindu, jika jauh terasa sangat sesak, ketika jumpa bingung apa mau dikata.
“Nadia, jika dulu kau bilang kita tak bisa bersatu karena kita berbeda, maka saat ini, adakah lagi alasanmu untuk menolakku?”
Nadia tidak bisa menjawab, Ia menatap Hyun Bin. Hyun Bin balas menatapnya. Beberapa detik kemudian, senyum mengembang di wajah Nadia. Dan itu sudah cukup bagi Hyun Bin…

Ya Rabbi, di tempat bersejarah ini kau pertemukan aku dengannya. Jadikanlah cinta kami hanya semaata KarenaMu. Jadikanlah cinta kami abadi seperti cinta Adam dan Hawa...

“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.” (Al-Qashash: 56)

Kipas Angin Fia

Hari ini hari Senin, mungkin sebagian anak sekolah pada gak suka sama hari Senin. Karena upacara nya mungkin ckck. Aku malah suka hari Senin, gak tau kenapa..
Pagi ini, setelah upacara, badan ku agak gerahan. Padahal cuaca nya agak mendung, tapi aku keringatan.. Tiba-tiba, Fia teman sebangku ku menyodorkan sesuatu, kipas angin mini. Tau aja dia aku lagi kepanasan..
“Tumben nih Nisa kepanasan, biasanya gak pernah..”, tanya Fia.
“Iya, mungkin karna lari-lari dari lapangan ke kelas tadi. Eh lucu nih kipasnya.. Haha”, kataku sambil mendekatkan jariku ke kipasnya. Tapi gak sampe kena.
“Gak sakit kok,Nis.. Itu plastiknya lembut, gak keras.”
“Hmm, iya ya?”, Tanya ku ragu.
Fia menekan tomboll off kipasnya..
“Tuh kan, pegang deh, gak akan sakit kalo pas muter kita pegang..”, jelas Fia meyakinkan.
“Iya sih…”
Aku menghidupkan kipasnya, lalu mendekatkan nya ke jilbabku. Hhhhhh, adeeemmm.
Tiba-tiba si Rizky merebut kipasnya dari tanganku.
“Minjem, aku juga kepanasan.”, katanya membalas berenganku.
“Ya pelan-pelan dong, kalo jatoh ntar cemana, itu punya si Fia loh..”
“Iya, aku tau.”, jawabnya santai.
Uh!!
Buk Rusni, wali kelas kami masuk.
Ya biasa, meriksa apakah anak-anak murid nya masih waras. Masih doooong ….
Ibu itu ngasih pengumuman, tapi aku gak terlalu dengar.. Sepertinya sih tentang expo..
Habis ngasih pengumuman, baru deh Ibu itu nge cek keadaan kelas, gorden, taplak meja, akuarium (yang ikan nya udah pada kabur), de el el..
“Fia, jangan menggosip aja disitu,” tegur buk Rusni.
Aku menyikut Fia.
“Lalak, Nayla, kalian juga, cuci semua gorden, Nayla sama Fia bagi dua buat nyuci gorden, yang masang si Lalak.”
“Yah, Ibuuuuuk, kok kami Buk?”, protes Nayla.
“Iya kalian tadi asik menggosip aja. Yang tanggung jawab kawat gorden nya Raymon.”
Fia, Lalak, dan Nayla merepet karna dapat tugas nyuci gorden. Mana gorden nya udah kotor kali, hehehe. Sabar ya weee. ;)
Sehari itu kami hampir gak ada belajar, guru Matematika gak masuk, guru Bahasa Indonesia juga, mungkin lagi sibuk ngurus persiapan kakak-kakak kelas 12 yang mau ujian. Hehehe. Jadi pas lagi nggak ada guru, anak-anak cowok nya main kuda panjang. Permainan seru tapi agak menyiksa, bisa bikin tulang punggung patah kalo gak tahan.. Hiiiiy. Kami yang cewek nya cuma ngeliatin sambil nyorakin aja, hahaha. Gak mungkin juga kan kami main, pake rok -_-
Pas pelajaran Bahasa Jerman, kami sih berharap Frau itu gak datang, tapi eh tapi, Frau itu masuk dan ngajar. Hoaeeeeem, yang cowok nya pada kecapekan gara-gara main kuda panjang tadi. Pada keringetan semua. Kipas si Fia pun kayak nya udah mulai lesu, hahaha. Mau habis batre kali.
Padahal di kelas udah ada 2 kipas gede. Aku yang duduk pas di bawah kipas aja sampe kedinginan. Tapi gak mungkin kan aku matiin kipasnya, maulah ngamok orang itu..
“Sini kipasnya”, kata Fia.
Dia udah mulai was-was liat kipasnya udah macam gak bertenaga lagi. Huekekekek.
“Yah, bentar lah, kami masih panas inii…..”
“Enggak, enggak! Siniiiiiii kipasnya!”
“Hhhhhh.”
Aku hanya bisa senyum-senyum liat si Fia meratapi kipas angin nya yang udah hampir hampir itu :D Hahaha.
“Rusak, Fi?”, tanyaku
“Enggak sih, Nis, lebih tepatnya belum, dan aku gak mau kipas ini sampe rusak di hari pertama aku makenya. Hah.”
Ckckckck.
“Liat dong.” Aku mengambil kipasnya dari tangan Fia.
Aku memutar-mutar baling-baling kipasnya. Aku tekan tombol on nya. Kipasnya hidup lagi dan kembali segar kayak tadi pagi lagi (jiaaaah).
Iseng aku deketin deh tu baling-baling ke kuping nya fia.
“Nguuung.”
“Ih Nisa, MKS deeeh..”, bibir Fia manyun 10 inci.
“Haduh Fi, berapa menit lagi nih bel pulang, aku lapeeeeeeeeer”, gerutuku.
“Ntar lagi kok, setengah jam lagi..”
“Gubwrak deh, setengah jam itu lama loh Fyoooool…”
Iseng aku putar lagi kipasnya, kali ini sasaranku si Fya. Aku deketin kipas angin ke jilbabnya. Nguuung.
"Nisa, ih, jangan kumat deh… Aku lagi serius ni."
"Eleh, eleh.. Serius apa seriuus?"
Aku ganggu lagi Fia, aku deketin  kipas mini nya ke kuping.
Nguuuung..
"Nisaaaaa!!!!" Fia ngamuk.
Aku nyengir kuda.
"Maaf, habis aku bosen tingkat dewa nih."
"Ya jangan aku dong yang jadi sasaran…"
"Oh oke, aku cari korban lain aja."
Mataku tertuju pada kawan di depan ku. Diora. Mueheheheheh.
Aku iseng mendekatkan kipas mini nya ke dekat Diora. Sasaranku adalah seragam nya. Hehehe. Pasti dia terkejut. Dan betul saja, dia terkejut. Dan bukan hanya itu, malah keadaan diperparah dengan gerakan dia yang tidak ku bayangkan sebelumnya. Tiba-tiba…. Rambut panjangnya tergerai, entah kipas yang menyambar rambutnya atau rambutnya yang menyambar kipas.. Aku langsung terdiam.
Kipas Fya kini sudah tidak menyentuh tanganku lagi, ia berpindah tempat ke……rambut Diora! Oh My God….. Aku langsung parno, kalo Diora marah, bagaimana.. Dan benar saja.. Sedetik kemudian..
"Nisaaaaaaaaaa!!!!"
"Eheheheh." Aku hanya bisa nyengir kuda.
Diora bangkit dari duduknya, dan pemandangan lucu pun mulai terlihat, kipas mungil Fia menggantung di ujung rambut Diora. Fia tidak bisa menahan tawanya. Aku berusaha sekuat tenaga ku untuk menahannya. Mana mungkin aku bisa menertawakannya sedangkan itu adalah keteledoranku. Hah, bisa-bisa makin dimaki aku.
Pemandangan aneh itu mulai menyebar ke saentro kelas. Terutama ke anak cowoknya. Mereka mulai mengeluarkan lelucon yang buat Fia makin terpingkal dan aku tersiksa menahan tawa. Diora berusaha keras memisahkan kipas angin itu dengan rambutnya. Aku berusaha membantu.
Susah.
Aku mulai keringat dingin. Kalo gak bisa lepas gimana ya? Tiba-tiba pikiran ku melayang ke masa aku SD. Waktu itu kejadian nya mirip seperti ini, hanya saja yang menempel bukan kipas, tapi permen karet. Ya, temanku yang jahil menempelkan permen karet ke rambutku. Aku sudah mencoba melepasnya, tapi tidak bisa, yang ada kepalaku jadi sakit karena rambutku ditarik-tarik. Akhirnya aku pulang dengan keadaan permen karet menempel di rambutku. Ibu yang melihatnya langsung kaget. Ibu juga berusaha melepaskan permen karetnya, tapi masih gagal juga. Akhirnya Ibu mengambil gunting dan… clek. Rambutku dipotong. Tapi setelah itu model rambutku jadi aneh, pendek sebelah. Besoknya Ibu membawa ku ke salon dan merapikan rambutku.
Oke, cukup flashback nya. Sekarang aku kembali ke kenyataan. Aku memegangi rambut Diora yang tersangkut, memutar-mutarnya berharap akan lepas. Tapi aku tahu, ini gak akan lepas kalo tidak digunting. Diora teriak-teriak gak jelas sehingga menarik perhatian teman-teman sekitar. Aku menyuruhnya diam, tapi dia gak mau. Akhirnya Nayla datang dengan membawa gunting… Waaaah…
Diora yang menyadari rambutnya akan digunting semakin mencak-mencak.
"Mau gak tuh rambutnya lepas?", tanya Nayla tak sabar.
"Ya mau, tapi gak dengan cara diguntiiiing… GAK MAU GAK MAU GAK MAU…..", rengek Diora.
"Gak apa loh, sedikit aja. Nanti kan juga akan tumbuh lagi."
"Enggaaaaak!!!"
Sejujurnya aku agak malas di sini, apa salahnya coba dipotong sedikit aja, andai dia tahu bagaimana posisi rambutnya terhadap kipas itu. Sulit dipisahkan. Diora semakin ribut dan mencak-mencak. Nayla yang memang tak sabar melihat sifat orang seperti itu langsung mendudukkan Diora dan….cklek..
Kipasnya lepas.
"Kyaaaaaaaaaa!!!", Diora berteriak, tak terima rambutnya digunting.
"Cuma dikit looh, lagian itu kipas udah gak bisa lepas dari rambutmu."
"Hiks….", Diora meratapi rambutnya yang tergunting. Hanya sedikit padahal.
Nayla melengos pergi dengan guntingnya. Dalam hati aku berterima kasih akan keberanian Diva, sekarang kipas sudah lepas. Tapi gak bisa muter lagi. Aku meminta maaf dengan tulus kepada Diora. Untung Diora memaafkan. Aku juga meminta maaf kepada Fia. Dan dia juga memaafkan sraya berterima kasih kembali padaku. Aku bingung untuk apa, katanya aku sudah buat dia tertawa lepas. Jadi kesalahanku tadi dijadikannya hiburan yang bisa menghilangkan beban pelajaran satu harian ini.

Ini kipas anginnya


Cerpen perdana yang aku publikasikan :)
ttd : Winni Septi Fanny Yasrin

 How do you write a love letter to a place? To a time? To bittersweetness?