Sederhana

Akan ada pagi dimana kamu bangun dan merasa berat untuk memulai hari. Jenuh menjalani rutinitas yang itu-itu saja. Terasa mulai bosan meski beberapa waktu yang lalu hal tersebut adalah hal yang kamu impikan. Merasa tidak ada semangat dan mulai mempertanyakan apakah ini yang benar-benar kamu inginkan.  
Tapi kamu tetap bangun, tetap menjalaninya, meski kamu tahu bahwa hari itu mungkin akan kembali berakhir kurang menyenangkan, tidak ada perubahan yang berarti. 
Kadang, yang mampu membuatmu tetap semangat adalah kebahagiaan yang bisa kamu cipta dari hal-hal sederhana. Seperti aroma masakan, mendengar lagu favorit terputar di radio, jalanan yang sepi, melihat pekarangan rumah yang penuh bunga, obrolan dengan seseorang, melihat pesawat melintas di langit, Hanya hal-hal sederhana. Tapi tak mengapa. Kamu masih bisa mencipta bahagia, itu yang terpenting. 
Bahagia-bahagia kecil yang mampu membuat kamu melewati satu hari lagi, dan lagi. 

Diantara tujuan-tujuan dan mimpi-mimpi, disitulah kamu hidup. 
Dengan kebahagiaanmu yang sederhana. 

Hardest Part

Hari ini saya ingin memastikan bahwa kamu sehat,
kamu sudah makan tepat waktu, 
kamu sudah beribadah, 
kamu sudah tersenyum, 
kamu sudah tertawa, 
kamu nyaman dengan apapun yang kamu lakukan

kalau kamu belum makan, saya ingin mengirimi pesan untuk mengingatkan
kalau kamu sedang pusing dengan pekerjaan, saya ingin suara saya di seberang sini bisa sedikit menghibur dan menenangkan
kalau kamu sedang tidak mood, saya ingin mengeluarkan humor-humor receh saya untuk membuatmu kembali ceria
kalau kamu sedang kecewa, saya ingin menjadi tempat kamu bercerita

tapi saya sudah tidak bisa
tidak bisa melakukan apa yang ingin saya lakukan
tidak bisa memberi perhatian meski saya masih sangat peduli dengan kamu

kata seseorang, 
"The hardest part of letting someone go is that you still care for them but can't take care of them."

Mareeba,
18 Maret 2019

Kemarin hapeku kelindes mobil. Masih utuh bodynya, tapi LCD nya udah rusak parah. Masih bisa bunyi kalau ditelfon atau ada notifikasi masuk, tapi gak nampak apa-apa.
Ingin menangis rasanya.
Hapenya memang gak mahal, tapi itu hape pertama yang aku beli pakai uang sendiri, hasil tabungan ngajar selama berbulan-bulan. Dan selama 9 bulan ini, semua data di hape itu gak pernah aku pindahin ke kartu memori. Foto, catatan, chat, semuanya di memori internal. Mau dipindahin ke laptop, hapenya gak bisa dihubungkan langsung ke laptop, harus diatur dulu. Ya bagaimana mau ngatur kalo udah hitam semua layarnya. Sungguh sakti kalo aku bisa nebak dimana posisi menu dan pilihannya.

Hape bisa dibeli lagi, tapi foto-foto di dalamnya itu gak akan bisa kudapat lagi,

MO NANGIIIIIIIIIIIIIIIIIIIS T.T
Today marked the three months since my first day of work.
From shed to paddock.
From 15 degree cold room to 38 degree under the sun.
From lychee to grape to lime.

Life is not easier in here, but it's better.

Past Tense

Dulu sekali, waktu aku masih SMP, aku bercita-cita ingin menjadi seperti Papa. Kerja di perkebunan, pakai sepatu boots, dan pergi pagi buta. Keren sekali bagiku. Tapi Papa melarang. Tidak ingin anak perempuannya kerja panas-panasan, di tengah kebun yang bisa jadi tempat hidup binatang berbahaya. 
Sesekali, aku ikut Papa kerja ke lapangan ketika akhir pekan. Atau mengunjungi kantor Papa yang saat itu ada toples-toples ulat hama. Atau mencoba membolak-balik buku bacaan Papa yang setebal bantal. 
Lalu Papa pergi. Laki-laki keren yang selalu membuatku bersorak "Papa pulang!" dari dalam rumah ketika suara mobilnya kudengar memasuki garasi. Papa pulang ke tempat yang berbeda dengan biasanya. Papa pulang selamanya. Aku tidak bersorak kali ini. 

Dan hari ini, sudah 9 tahun lebih berlalu, 
di kebun anggur, thousands kilometer away. Aku memakai sepatu boots, pergi kerja pukul 4.30 pagi, kerja di bawah matahari, lalu sesekali bertemu ular dan bermacam ulat hama. 

"My dad is an agronomist.", kataku suatu hari pada supervisorku. 
"Oh really? Where does he work?"
"In a palm oil plantation."

Aku tahu, ada yang tidak benar dengan tata bahasaku. Kita seharusnya menggunakan past tense untuk orang yang sudah tidak ada, kan?
But he is still here somehow. Di dalam hatiku. 



Tubuhku

Teruntuk tubuhku, maaf untuk beberapa bulan terakhir aku tidak terlalu memperhatikanmu. 
Apa kabar luka-luka di ujung jarimu? Itu akibat aku yang terlalu malas untuk memakai sarung tangan saat bekerja, ya.
Kalau belang di wajah dan tanganmu? Itu juga akibat aku yang terlalu santai menghadapi matahari disini yang sebenarnya bisa jadi sangat bahaya, hanya karena kulitku sudah terlanjur gelap juga. 
Aku tidak seharusnya menjadikan lelah dan sedihku alasan untuk mengabaikanmu, kan. 
Sebab nyatanya, hanya kau yang sampai sekarang tetap membersamaiku tidak peduli sudah berapa kali aku menyakitimu, ingin merubah sesuatu dari dirimu, bahkan beberapa kali berharap agar kau celaka saja. 
Aku kembali menangis beberapa hari ini. Sakit seperti ini sulit sekali rasanya sembuh. Mungkin kau lelah denganku yang sulit mengerti bahwa aku seharusnya berhenti menangisi dan menyesali hal-hal lalu itu. Aku seharusnya sudah bisa kembali makan makanan favoritku tanpa perlu kehilangan selera saat tiba-tiba sendu menghampiriku. Kurasa ini penyebab massamu yang tetap berkurang meski aku sudah makan cukup teratur akhir-akhir ini. 

Aku masih perlu belajar banyak tentang hubungan kita. Pada akhirnya, hanya aku dan kau yang akan menjalani ini. Hanya kita yang tahu apa yang telah aku lewati. 
Dan hari ini, aku ingin sebentar saja memeluk dan mendekapmu, mencoba mendengarkan barangkali kau ingin menyampaikan sesuatu padaku. 
Tubuhku, aku ingin kamu tetap kuat. Hari-hari sulit ini, aku tidak tahu entah kapan akan berakhir. Tapi aku akan tetap berusaha untuk kembali membawa bahagia itu pada kita.
Aku akan tetap belajar mencintai diriku, kamu. Aku salah pernah mendahulukan cintaku pada seseorang lain. Kamu pasti tidak setuju jika aku terus menyalahkan diriku, kan?
Baiklah. Bantu aku berdamai, ya. 

 How do you write a love letter to a place? To a time? To bittersweetness?