Jawaban yang Belum Sempat Kamu Dengar (1)

Satu hari, kamu sempat bertanya
"Kenapa sih, Win, kepengen banget tinggal di luar negeri? Apa sih yang dikejar disana?"
Saat itu, aku sempat diam, sebelum akhirnya memberi jawaban "Ya, pengen aja.." kepadamu. Aku ingin memberi jawaban yang panjang, yang bisa meyakinkan dirimu bahwa alasanku sebenarnya sederhana, bukan alasan seperti "Ya karena luar negeri itu keren", bukan. Hanya saja, waktu itu kamu terdengar seperti merendahkan mimpiku, memandang bahwa mimpiku itu bukanlah suatu hal yang perlu diperjuangkan.
Dan ini jawaban yang sebenarnya ingin kusampaikan;
"Aku ingin tinggal di tempat yang tenteram, sepi, bersih, dan tidak berisik. Di tempat yang aku bisa berjalan kaki dan bersepeda tanpa takut diserempet kendaraan umum. Di tempat dimana aku bisa menghirup udara pagi yang segar, tidak perlu menggunakan masker saat pergi keluar rumah untuk menghindari polusi udara. Di tempat dimana aku bisa berkebun, menanam sayur, lalu memanennya untuk dimasak. Aku ingin tinggal di rumah dengan jendela besar yang mendapat cahaya matahari pagi ataupun sore. Aku ingin tinggal di desa kecil, dengan penduduk ramah dan saling kenal satu sama lain. Meski hanya sebentar, aku ingin merasakan kehidupan yang seperti itu."

Lalu mungkin kamu masih ingin bertanya, kenapa? Kenapa aku butuh hal seperti itu?

Maybe, it's because I'm a very unhappy person.

Kau, Bisa.


Kepada diri yang sedang resah, cobalah untuk tidak berharap apapun ketika memberi,
Tidak masalah jika percakapan panjangmu dibalas singkat,
Tidak apa jika orang-orang tidak antusias menyambut ceritamu,
Atau ketika perhatianmu dibalas pengabaian.

Jangan selalu menyalahkan dirimu atas cara orang lain bersikap padamu.
Tidak semua hal bisa kau kendalikan, termasuk cara bersikap dan berpikir orang di sekitarmu. Tetaplah berusaha ada untuk mereka yang kau anggap berhak untuk ditemani, tetaplah berbuat baik tanpa mengharap apapun. Sulit memang. Tapi, kau punya banyak pr yang harus kau perbaiki di dirimu. Tidak apa bersusah hati dulu saat ini, semoga kelak kau akan memiliki hati yang luas, yang jika dilukai sedikit, tidak akan membuatmu begitu terbebani.

random thought: Keputusan


"Ma, Fany pusing. Fany gak tau harus ambil keputusan apa. Mama aja yang mutusin buat Fany, ya?"

Kataku suatu hari kepada Mama setelah sadar bahwa di usia segini, banyak keputusan yang harus kuambil sendiri, keputusan yang harus dipikirkan matang-matang dan panjang-panjang. 
Dulu aku pernah merasa ingin rasanya cepat-cepat dewasa dan bisa punya kendali sendiri. Sekarang, huft…
Jadi orang dewasa itu gak seasik yang kubayangkan waktu masih sekolah dulu. Jadi orang dewasa itu gak melulu cuma tentang kebebasan. Jauh lebih besar dari itu, mendewasa adalah menempatkan diri pada pilihan-pilihan yang harus dipertanggung jawabkan, sendiri. 

Nanti-

Nanti, semua ini akan beranjak pergi. 
Aku tidak akan berdebar lagi ketika membaca pesanmu, atau gelisah menunggu balasanmu ketika aku tidak bisa membendung keinginanku memulai percakapan. 
Nanti, aku akan terbiasa mengunjungi tempat-tempat yang sering kita datangi, tanpa perlu menghela nafas berat dan bersusah payah menahan bening di mata.
Nanti, aku akan belajar untuk tidak menghindari pertanyaan orang-orang di sekitarku tentangmu, "Dia mana?", yang saat ini hanya sanggup aku balas dengan senyum tipis. 
Nanti, semua ini akan berakhir.

Seperti janji akan bahagia yang dulu pernah kau tawarkan untukku, kesedihan ini juga tidak akan abadi, kan? 

Cikini, September 2018

Akhir-akhir ini, aku jarang merasa cemas dengan hal-hal yang dulu sering kucemasin. Misal, pulang malem dan naik angkot sendiri, atau dibonceng naik motor sama driver gojek, naik pesawat, hape mati pas lagi diluar rumah. Beberapa saat ini, aku tidak begitu atau bahkan sama sekali tidak cemas saat dihadapkan dengan kondisi-kondisi diatas. 

Mungkin, kehilangan banyak semangat hidup bisa membuat cemas hilang juga. Sudah habis diriku diambil kesedihan, sehingga cemas tak punya tempat lagi. 

random thought: Packing

Sebenarnya mau dijudulin "Merantau" tulisan ini, tapi terlalu emosional kayaknya. Soalnya ini cuma ngebahas salah satu proses dalam merantau: packing. 

Beberapa hari terakhir, aku sibuk bongkar-muat koper sama barang-barang di Padang. Ini packing terakhir sebelum aku ninggalin Padang. Kemarin udah beberapa kali balik ke Medan sekalian nyicil barang bawaan. Karena ijazah udah keluar, jadi ya ini trip terakhir. Sigh. Syedih. 

Kenapa bongkar-muat? Karena gak semua barang bisa masuk koper. Aku harus menaruh prioritas pada setiap barang yang mau dimasukin ke koper. Keputusan suuuuliiiiit. Soalnya pas saat-saat kayak gini, semua barang tiba-tiba jadi penting, semua barang tiba-tiba punya nilai kenangan yang gak rela dilepas. 

Kalau dibandingin, packing saat pergi menuju perantauan dan balik dari perantauan, ribetnya sama. Walau mungkin emosi yang dirasain jauh beda. Dulu waktu mau merantau ke Padang, aku sampe bawa odol, sabun, shampo di koper. Snack-snack juga entah kenapa aku paksain masuk koper. Padahal ya, barang-barang kayak gitu juga ada di Padang. Sama juga saat aku mau ke Amerika, ini lebih ribet lagi. Segala saos dan sambal belacan kubawa. Plus indomie berbagai rasa. Takut banget kelaparan di negara orang. Meski ribet, tapi ketakutan untuk gak menemukan hal-hal yang jadi kebutuhan sehari-hari dengan mudah di awal-awal, menjadi alasan koperku selalu overweight kalau mau bepergian lama.

Setelah selesai merantau di satu tempat, packing untuk balik ini juga sulit. Dan lebih emosional. Waktu balik dari Amerika, lebih dari 75 persen bajuku kutinggal, yang kubawa adalah printilan barang lucu dan kenang-kenangan dari teman-teman, oh iya, karena aku orang Indonesia, gak lupa dong; oleh-oleh. Baju jadi barang yang paling sering aku korbankan untuk ngasih space ke hal-hal seperti diatas. 

Walaupun cuma 4 bulan di Amerika, tapi aku benar-benar pusing sama masalah packing waktu itu. Dan di Padang, aku menghabiskan waktu 5 tahun. Bisa terbayang kan gimana pusingnya kepalaku untuk memaksimalkan memori selama 5 tahun itu muat dalam beberapa koper. 

Tapi, aku baru menyadari satu hal, bahwa pada akhirnya, hal-hal yang paling ingin kubawa pulang, adalah hal-hal yang gak bisa kumasukin dalam koper. 

Padang, Agustus 2018

akhir-akhir ini, sulit sekali rasanya mengalihkan pikiran dari segala hal tentangmu. aku ke tempat ramai, dan terdetak ketika ada yang mirip denganmu, ada yang pakai baju mirip bajumu, ada yang berdiri seperti caramu berdiri, ada yang naik motor seperti motormu, ada yang pakai tas seperti tasmu.

kenapa semua hal tentangmu begitu pasaran. aku susah jadinya. 

 How do you write a love letter to a place? To a time? To bittersweetness?