Tampilkan postingan dengan label Humans of My Life. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Humans of My Life. Tampilkan semua postingan

Marapi Night

Malam itu, aku memutuskan untuk mengabaikan demam dan sakit tenggorokan yang kuhadapi untuk keluar malam dan bertemu Cara. Suaraku hampir hilang malam itu, tapi aku memutuskan untuk bertemu seseorang yang baru, orang asing, yang kemungkinan akan membuat aku harus berbicara banyak. Aku memang merasa cukup lelah hari itu, ditambah cuaca yang hujan seharian. Tapi tepat pukul 8 malam, aku sudah berada di depan Hoya. Aku melihat Cara yang baru aku lihat malam itu, dan 2 orang temanku yang sudah kukenal sebelumnya. Mereka sudah menunggu di dalam. Tidak, aku tidak terlambat, kami memang janji pukul 8. Mereka yang lebih cepat datang. Aku secara random memakai sweater merah marun dengan tulisan HARVARD malam itu. Saat aku menyapa Cara, aku merasa dia sedikit kaget melihat pakaianku, dan seperti orang-orang Amerika lainnya, dia memberi pujian dengan "Oh I love your sweater!". Setelah kami berbincang, aku kemudian mengetahui bahwa dia adalah lulusan Harvard. So random.

Malam itu, aku senang aku tidak memilih untuk tinggal di rumah dan selimutan. Aku bahagia berada diantara mereka. Berbicara. Tertawa. Demamku pergi sebentar, tenggorokanku pulih saat itu.
Above all, aku melihat betapa dua orang Amerika yang garis ceritanya bersinggungan denganku ini, adalah orang-orang yang mampu membuat aku takjub dengan percakapan-percakapan yang mereka bawa. Hal-hal yang mungkin sudah biasa mereka lakukan namun merupakan sebuah ketakutan bagiku.
Malam itu, Cara dan Jam tiba-tiba muncul dengan ide mendaki Marapi, salah satu gunung berapi yang masih aktif di Sumatera Barat. Aku meringis mengingat bahwa terakhir kali, aku mendengar cerita temanku yang mendaki saat merapi memuntahkan lavanya. Lava itu mengalir di depan matanya. Dia tidak apa-apa. Tapi tetap saja, hah, tidaklah.
Aku kira, Cara akan  berada di Padang selama seminggu. Ah iya, Cara sedang bekerja di Malaysia. Namun, ternyata dia akan balik hari Minggu. Which means, dia cuma di Padang untuk weekend-an.  Jumat-Sabtu-Minggu.
Lalu, kapan mau mendaki?
"RIGHT NOW!" seru Jam, membuat aku dan 1 orang temanku yang orang Indonesia juga tercengang.

Kalau dia bukan temanku, aku sudah berseru membalas dengan berkata "GILA".
Jam meminta persetujuan Cara. Dia mengangguk semangat.
Bahuku langsung meloyo. Dua bule ini benar-benar…
Aku dan Bang Vano menjelaskan apa-apa saja yang harus dipersiapkan sebelum mendaki.
"We need to go to Padang Panjang first, which takes 2 hours, and climb up for 6 hours. We don't have time."
"We will if we go right now. It's still 9, let's have snacks and coffee to go, we go to Padang Panjang at 10, and arrive at 12. We climb up, err, let's say we can make it 5 hours, we will be up there for sunrise!", meyakinkan saat Jam berbicara.
Easy to talk, easy.
Aku tidak tahu apakah memang orang Indonesia cenderung untuk memikirkan banyak hal sebelum ambil langkah, atau memang dua orang Amerika ini terlalu nekat.
Aku dan temanku sama-sama punya pemikiran bahwa naik gunung itu ribet dan gak bisa dianggap enteng. Those bules punya pemikiran: JUST DO IT!
Well, walau akhirnya kami gak jadi pergi, aku belajar beberapa hal dari kata-kata mereka, kayak:
"Nobody wrote the book "So I stayed at home instead.""
"My Dad told me this, "If you're not sure about something, just do it.""

Hahahah, kata-kata yang kedua ini benar-benar in contrary dengan gimana Mama ku mengajarkanku, "Kalo ragu, ya gak usah di lakukan, Nak.."

You grow up, you meet more people, you build conversations,

And YOU LEARN. 
Aku sedang menunggu tukang parkirnya memberi kembalian saat Papa menutup kaca mobil dan beranjak pergi.
"Loh, Pa. Kembaliannya belum?", kataku keheranan.
"Biar aja.."
"Parkirnya kan cuma 2000 Pa, itu tadi Papa kasih kebanyakan.."
"Gak apa-apa, Kak.."
Di malam itu, perjalanan pulang dari tempat les, Papa kembali bercerita tentang masa mudanya. Aku tahu bahwa Papa dulu sekolah sambil bekerja membiayai hidup di Medan, merantau dari Pasaman Barat sejak kelas 1 SMP.  Tapi cerita Papa biasanya sepotong-sepotong, sebagai pengantar kami tidur. Malam itu, Papa bercerita tentang salah satu pekerjaan yang pernah Papa lakukan dulu; tukang parkir.
"Dulu waktu Papa jadi tukang parkir, kalau ada yang lebihin uang parkirnya, Papa senaaaang kali, Kak. "
"Hmm, makanya Papa suka lebihin uang parkir buat tukang parkir ya?"
"Iya.. Gak ada salahnya kan Kak."
"Hmm, iya Pa.."

Cerita itu Papa kisahkan ketika awal-awal aku duduk di bangku SMP. Saat aku mulai diberi pengertian tentang perjuangan, bahwa hidup tidak selamanya nyaman. Sering cerita Papa membuat mata kami berkaca-kaca, kuat kami peluk Papa setelah bercerita, yang saat itu, entah sadar atau tidak kami seperti menunjukkan bahwa kami sangat bangga dengan Papa, bahwa kami ingin terus mendengar cerita Papa.
Tapi Papa pergi beberapa tahun setelahnya. Aku bahkan belum meninggalkan bangku SMP saat itu.
Kepergian Papa seolah memaksaku untuk mengumpulkan semua memori tentang Papa, semua cerita yang pernah diceritakan Papa, lalu tetap melanjutkan hidup dengan bekal itu.

Sudah 8 tahun kami tidak lagi bisa mendengar cerita Papa, tidak lagi bisa memeluk Papa, tidak lagi bisa melihat Papa memberi uang parkir berlebih, terutama jika petugas parkirnya adalah orang tua atau ibu-ibu.
Tapi cerita yang bisa diingat, berusaha aku ingat terus, dan jadikan tulisan agar tetap bisa kubaca jika aku lupa.
Kebiasaan Papa dulu, berusaha aku ikuti.
Papa, kalau dulu, ketika Papa kasih uang parkir berlebih, paling hanya anak Papa ini yang bertanya heran. Sekarang, aku terkadang bingung menyikapi tatapan bertanya teman atau orang yang melihat aku menolak kembalian parkir.
Papa, kami rindu. Tapi kami tetap simpan cerita Papa, kami coba ganti dengan doa untuk Papa. 

BUK AN!!!

Last night, I was having a short conversation about friends, with one of my friends.
Aku jarang merasa kesulitan untuk menemukan teman-teman baru, tapi untuk menjaga hubungan dengan teman-teman, itu yang kurasa sulit.
Apalagi setelah jauh seperti ini.
Beberapa kali aku merasa, aku mulai kehilangan satu-persatu temanku, atau kalau tidak hilang, hubungan kami merenggang. Memang sulit menjaga komunikasi itu.
Tapi, ada satu teman, kami bukan teman dari masa kecil, bukan juga teman yang udah kenal bertahun-tahun. Kami baru kenal bulan Juni kemarin. Karena KKN.
Tapi, aku merasa nyaman untuk cerita tentang apapun dengannya.
Ada kan orang-orang yang seperti itu, kita belum mengenalnya terlalu lama, tapi kita sudah bisa percaya dengannya.

"I'm thinking about going abroad, doing an exchange, like you guys."
"What country you've been thinking of?"
"A lot. Haven't decided yet."
"How long will it take for you to finish your study?"
"5 years"
"Well, it's quite long, compare to others"
"Yes, it is. Beacuse I'm minoring in Military Nurse, and I wanna make sure that I understand every single thing, not just go through it."

Namanya Madison, dia salah satu teman ku di asrama, dia mahasiswa Amerika yang asalnya dari Nashville, Tennessee. She is a lovely person, and friendly too. 

This is my first post with the label of Humans of My Life. I've been thinking about making one, karena beberapa waktu yang lalu, aku ketemu project kawanku, Indah. 
If you are a big fans of Humans of New York nya Brandon Stanton, pasti tau ini akan menjadi seperti apa. 
Aku tidak tinggal di New York, tapi Humans of My Life gak kalah menginspirasi dari Humans of New York. 
Aku bertemu banyak orang-orang setiap hari, mulai dari hanya saling sapa, having a small talk, atau bahkan a deep talk.  
Aku mungkin belum terlalu mahir merangkai kata, tapi aku berusaha agar percakapan-percakapan yang menginspirasi ku setiap hari, akan berada disini. 
Mungkin tidak semuanya, mungkin tidak persis seperti itu, karena aku punya keterbatasan memori, dan tidak selalu punya kesempatan untuk mencatat saat itu juga. 

 How do you write a love letter to a place? To a time? To bittersweetness?