I don't remember how I fell in love with you,

I just remember seeing your face and your smile, realizing how much it was going to hurt me when I would have to let it go

July, 2018


Rasanya, sudah lama sekali kita tidak menikmati waktu mengobrol di sebelah jendela kaca besar ini. Duduk di satu meja yang sama ditemani minuman favorit kita masing-masing. Sesekali mengomentari kota kelahiran kita yang bisa kita lihat dari balik jendela besar itu. Atau sambil berbicara serius tentang apa yang seharusnya kita lakukan untuk bisa membuat perasaan satu sama lain menjadi lebih baik. Favoritku, adalah waktu-waktu dimana aku bisa melihat kau tersenyum, apalagi tertawa. Aku rindu sekali suara tawamu.

Bolehkah aku menyalahkan waktu yang sudah membuat kita seperti ini? Kita yang dulu punya banyak alasan untuk kembali berbaikan setelah berdebat, kau yang selalu berusaha untuk membicarakan dan menyelesaikan masalah kita tanpa tunggu besok, lalu kita yang pernah sama-sama berjuang meski mungkin bagimu, hanya kau yang saat itu berjuang.

Aku sudah mencoba dan mencari cara untuk membuat kita menjadi tidak seasing sekarang ini, setelah keputusan kita untuk mencoba lagi memperbaiki apa-apa yang sudah pernah kita putuskan, aku tetap menjalani hari-hariku sebagai diriku yang dulu, dengan menghilangkan sedikit demi sedikit hal-hal yang tidak kau suka dariku. 
Aku masih antusias saat pertama kali akan melihatmu setelah berbulan-bulan lamanya, masih sama rasanya seperti saat kau mengunjungiku di Padang, atau saat liburan sebelumnya aku pulang ke Medan. Waktu-waktu dimana kita pertama kali melihat satu sama lain setelah berbulan-bulan lamanya. Tapi di liburan kemarin, aku tidak melihat antusias itu di matamu, dan di sikapmu.
Aku mencoba mengerti bahwa aku juga tidak bisa memaksamu.
Kau yang ingin cepat-cepat pergi. Dan aku yang masih ingin tinggal lebih lama.




"I'd go back to December, turn around and make it all right"
Aku sudah jatuh terlalu dalam pada caramu memperhatikan, pada lembutnya tutur katamu, pada dunia yang tidak banyak orang tahu tentangmu, pada cara berpikirmu yang sempat kusalahkan terus menerus.
Pada setiap kejadian di masa depan yang aku ingin ada dirimu disana, pada senyummu, pada tatapan matamu, pada percakapan kita setiap malam, pada waktu-waktu yang kita luangkan untuk sekedar bercanda-bertengkar-baikan-dan bercanda lagi.
Aku telah jatuh cinta begitu dalam, telah menerjunkan diriku dengan berani,

tapi sepertinya... aku terjun sendiri. 
 
Kamu ada di setiap sudut kota ini. Tidak menyisakan ruang sedikitpun untukku berdiam di satu tempat tanpa membayangkan kita yang pernah disana. 
Lampu, ombak, kafe, jendela kaca, bahkan hal umum seperti hujan pun memaksaku me-reka ulang segala hal tentang tawa, tangis, pembicaraan, serta diam kita yang pernah terjadi di sana.

Untuk setiap ingatanku yang begitu tajam tentang ini, bolehkah aku mendengar janjimu terlebih dahulu, kamu tidak akan tiba-tiba meninggalkanku, sebelum aku mengajakmu ke tempat-tempat lainnya, nanti? 

Padang, 22 April 2018
"Aku sudah biasa ditinggalkan."

Apakah kau berhak mengatakan kesedihan jika yang selama ini kau lakukan adalah membuatku sedih?
Apakah kau boleh menyalahkan aku yang akhirnya meninggalkan jika yang sedang kau lakukan sekarang adalah menepikanku?
Kita sibuk mengoreksi tingkah dan perkataan satu sama lain, tanpa ingin untuk sedikit melihat kedalam diri kita, 


kita hanya perlu menjadi baik dan peduli. 
"I think I'm lost."
"What? Why? Or how?"
"I've been trying so hard to be a person that I think would make someone stay with me, but along the way, I lost myself."
"Phew. Happens sometimes. But my advice, when you're lost, choose the path that makes you happy the most. You might want to go back to who you were or you might not.You should be happy, too. You deserve happiness."

 How do you write a love letter to a place? To a time? To bittersweetness?