"Aku sudah biasa ditinggalkan."

Apakah kau berhak mengatakan kesedihan jika yang selama ini kau lakukan adalah membuatku sedih?
Apakah kau boleh menyalahkan aku yang akhirnya meninggalkan jika yang sedang kau lakukan sekarang adalah menepikanku?
Kita sibuk mengoreksi tingkah dan perkataan satu sama lain, tanpa ingin untuk sedikit melihat kedalam diri kita, 


kita hanya perlu menjadi baik dan peduli. 
"I think I'm lost."
"What? Why? Or how?"
"I've been trying so hard to be a person that I think would make someone stay with me, but along the way, I lost myself."
"Phew. Happens sometimes. But my advice, when you're lost, choose the path that makes you happy the most. You might want to go back to who you were or you might not.You should be happy, too. You deserve happiness."

31 Januari 2018

Januari sudah akan berakhir. Aku seharian ini sibuk menyalahkan diriku atas apa-apa yang belum bisa kucapai di bulan pertama tahun ini. Seperti biasa, orang lain adalah pembandingnya.
Tumpukan hal-hal yang seharusnya sudah kuselesaikan tahun lalu juga masih sering kukesampingkan atau kuabaikan. Banyak waktuku habis untuk hal-hal yang sebenarnya tidak perlu-perlu amat kulakukan.
Lihatlah, kesibukan ku menyalahkan diri hari ini tidak berujung pada meningkatnya motivasi. Malah semakin malas, dan menjadikan keadaan kurang motivasi seperti ini sebagai pembenaran untuk bermain game berjam-jam. *sigh*

Bulan ini juga seperti kebalikan Januari tahun lalu.
Kalau tahun lalu aku memiliki banyak hal baru dan perasaan baru juga orang-orang baru,
Januari ini tenaga ku cukup banyak habis untuk mempertahankan apa-apa yang di tahun lalu sempat sengaja atau tanpa sengaja kuabaikan. Kata-kataku lebih banyak keluar untuk meyakinkan seseorang bahwa aku ingin dia tetap tinggal. Sehingga diamku seringkali menjadi jeda dari semua usahaku untuk menahan dia. Diamku seringkali adalah penyalahan dan penyesalan atas diriku yang terlalu lambat mengindera apa yang sebenarnya sangat berarti bagiku.

Januari yang bagi orang-orang adalah sebuah permulaan, bagiku terasa seperti sebuah akhir dari satu cerita yang tidak ingin kulihat. 

“talking to someone everyday for hours can be pretty destructive. because there will come a day when you don’t speak at all and it’s going to be the loneliest feeling in the world.

Terima kasih, untuk melakukan sebaliknya
Biasanya kalau lagi gak enak badan, aku gak langsung menyimpulkan bahwa aku kelelahan dan butuh istirahat. Karena bisa saja aku demam karena bosan, atau lagi pengen sesuatu. Entah ajaran dari mana memang. Tapi, pernah beberapa kali, ketika lagi demam, aku malah memilih hangout sama teman-temanku, hasilnya sembuh! But seriously, pas kita sakit, psikologis emang butuh ngasih obat juga. Kita musti bahagia dan optimis kalo kita gak apa-apa. Yakan anak-anak psikologi???
Jadi, itu yang kulakukan saat aku mulai meriang di kampus hari Selasa lalu. Cuaca alhamdulillah luar biasa cerah akhir-akhir ini. Aku selalu sukses sampai rumah dengan muka merah padam menuju gosong. Senin dan Selasa minggu ini, berturut-turut aku ke kampus pagi-pagi menerjang angin pagi bypass yang udah gak pernah segar lagi karena asap mobil-mobil ber roda 12 ke atas itu. Bisa jadi aku memang lelah. Tapi, sore itu aku ajak si Uni untuk mejeng. Kami makan di daerah pondok. Aku memesan batagor ikan yang sukses buat aku felt even worse. Aku lupa bahwa aku belum ada makan nasi seharian. Setelah itu aku gak selera makan apa-apa lagi. Kami lanjut nge gaul di tepi pantai, menikmati pemandangan matahari terbenam. Sampai kami di pantai, matahari masih tinggi. Angin lumayan sepoi-sepoi berpotensi bikin masuk angin- aku makin merasa sedih, eh maksudnya gak enak badan.  Matahari terbenam, kami pulang. Sesampainya di rumah, aku mandi. Selesai mandi, aku mulai bersin-bersin. Aku putuskan untuk cepat tidur. Sepertinya ini bukan demam karena bosan.
Esok paginya, suhu tubuhku 39.1 C.
Padahal hari itu aku berencana untuk bimbingan, dan juga, ada take home test yang belum aku kerjakan tapi harus di kumpul hari itu. Aku masih optimis untuk bisa ke kampus, pake GoJek. Aku kerjakan take home test ku sambil menggulung badan di selimut. Selesai take home test, aku langsung tepar lagi- pake drama muntah dulu tapi.
Siangnya, aku nge cek hp. Ada satu pesan dari dosen pembimbingku. Bapak memberitahu bahwa jika aku ingin bimbingan saat itu, Bapak ada di jurusan. Oh Bapaaaaak. Kalau saja aku masih punya sisa-sisa tenaga untuk bangkit. Karena aku hanya perlu memperlihatkan form pengamatan, jika disetujui, aku bisa mulai penelitian. Aku membalas pesan Bapak dengan meminta maaf dan menyebutkan bahwa aku sedang dilanda demam. Bapaknya membalas "Syafakillah, semoga lekas sembuh."
Itu memang cuma pesan sederhana.

Tapi, dampaknya mungkin bisa nurunin 1 derjat suhu badanku. 
Bagaimana tidak, itu dari dosen pembimbing tugas akhir ku. 
"Time and time again, people show us who they really are. They show us their true colours. Yet, bizarrely, we fail to acknowledge that, for our mind is engrossed with the idea of perceiving people as the people we want them to be. We fail to recognize their true colours because, on the canvas of our life, we view them in completely different hues. Hues that our eyes have been starved of their entire life. Hues that we’ve been longing to have on our canvas. We try to fit blank spaces with colours that’ll never fulfill the potential of turning it into a masterpiece, almost like a confusedly stubborn infant trying to fit a square into a star mould, since what we fail to comprehend is that people can never be what you want them to be, for just like us, they too have canvases of their own, which they’re busy embellishing with strokes made by the brushes of imagination and acumen, dipped by the hues of belief and hope from their palettes. We’re all looking for a specific hue. One that’ll distinguish and adorn our canvas with exquisiteness; however, we should realize that it’ll come to us at the right time to convert a mere painting into the masterpiece it’s meant to be. A hue that’ll remind us how adroit we are at what we do, and how every second of the patience has been worth it, as only by living the life of a starving artist, will we come to appreciate every brushstroke of the hue that redefines our canvas, our entire life, which will never be the same again."

 How do you write a love letter to a place? To a time? To bittersweetness?